Hukum Membaca Al-Qur'an di Mushaf saat Salat - Lembaga Fatwa Mesir
5/18/2015
Membaca
Alquran di Mushaf Ketika Salat
Pertanyaan
Nomor Urut :
1207 Tanggal Jawaban : 21/08/2008
Memperhatikan
permintaan fatwa dari Bapak IMA, yang berisi: Bolehkah membaca Alquran di
mushaf ketika salat?
Jawaban (Dewan
Fatwa)
Diantara
bentuk ibadah yang paling utama adalah ibadah yang menggabungkan antara dua
kebaikan, misalnya menggabungkan antara salat dan membaca Alquran. Oleh karena
itu, kaum muslimin berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengkhatamkan Alquran
di dalam salat mereka. Namun, karena tidak semua orang bisa melakukan hal itu
dengan bertumpu pada hafalannya, maka para ulama membahas tentang boleh
tidaknya membaca mushaf ketika salat dengan cara memegangnya dengan tangan atau
meletakkanya di tempat khusus sehingga dapat dibaca oleh orang yang salat.
Menurut
Mazhab Syafi'i dan fatwa dalam Mazhab Hambali, diperbolehkan membaca Al-quran
dari mushaf ketika salat, baik sebagai imam ataupun ketika salat sendiri. Tidak
ada perbedaan dalam hal ini antara salat fardu dengan salat sunah dan antara
orang yang hafal dengan yang tidak. Ini adalah pendapat yang menjadi pegangan
dalam kedua mazhab. Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughnî menukil hal ini dari dua
ulama salaf, yaitu Atha` dan Yahya al-Anshari.
Terdapat
sebuah riwayat yang disebutkan di dalam Shahih Bukhari secara mu'allaq –dan
disambungkan sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dan al-Baihaqi
dalam as-Sunan al-Kubrâ—dari Aisyah, Ummul Mukminin radliyallahu ‘anha., bahwa
beliau pernah menjadi makmum dari budaknya, Dzakwan, yang membaca dari mushaf.
Dalam
kitab al-Mudawwanah al-Kubrâ dan al-Mughnî karya Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa
Imam az-Zuhri ditanya tentang seorang lelaki yang membaca Alquran dari mushaf,
lalu dia berkata, "Dulu orang-orang terbaik kami membaca Alquran dari
mushaf ketika salat."
Sebagaimana
membaca Alquran merupakan ibadah, maka melihat ke mushaf juga merupakan ibadah.
Bergabungnya suatu ibadah ke dalam ibadah yang lain tidak mengakibatkan
rusaknya ibadah tersebut, akan tetapi sebaliknya membuat bertambahnya pahala,
karena di dalamnya terdapat tambahan amalan berupa melihat ke dalam mushaf.
Hujjatul
Islam al-Ghazali, di dalam kitab Ihyâ` Ulumiddîn berkata, "Ada yang
mengatakan bahwa mengkhatamkan Alquran dengan membaca mushaf mendapatkan pahala
tujuh kali lipat, karena memandang mushaf juga merupakan ibadah."
Dalam
kaidah syara’ dijelaskan bahwa sarana untuk mencapai suatu tujuan menempati
posisi hukum tujuan itu. Tujuan membaca dari mushaf ini adalah tercapainya
pembacaan ayat dalam salat , sehingga jika tujuan tersebut dapat tercapai
dengan melihat tulisan seperti melalui mushaf, maka itu dibolehkan.
Imam
Nawawi di dalam al-Majmû' berkata, "Seandainya dia (orang yang sedang
salat) membaca Alquran dari mushaf maka salatnya tidak batal, baik dia hafal
Alquran atau tidak. Bahkan dia wajib melakukan hal itu jika dia tidak hafal
surat Al-Fâtihah. Bila orang tersebut terkadang membuka lembaran mushaf maka
salatnya tidak batal."
Al-Allamah
Manshur al-Buhuti, seorang ulama Mazhab Hambali, dalam Kasysyâf al-Qinâ'
berkata, "Dia –orang yang salat—boleh membaca Alquran dari mushaf walaupun
dia hafal apa yang dibaca." Lalu dia berkata, "Dalam hal ini sama
saja antara salat fardu dan salat sunnah. Pernyataan ini dikatakan oleh Ibnu
Hamid."
Sedangkan
para ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa membaca Alquran dengan mushaf ketika
salat dapat merusak salat tersebut. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm dari
Mazhab Zhahiri. Diantara dalil Ibnu Hazm dalam masalah ini adalah riwayat yang
terdapat dalam Kitâb al-Mashâhif karya Ibnu Abi Dawud dari Ibnu Abbas r.a., dia
berkata, "Amirul Mukminin Umar r.a. melarang kami mengimami masyarakat
dengan membaca Alquran dari mushaf. Beliau juga melarang seseorang menjadi imam
kami kecuali yang sudah baligh."
Namun
riwayat ini tidaklah kuat, karena di dalam sanadnya terdapat Nahsyal bin Sa'id
an-Naisaburi. Statusnya adalah kadzdzâb matrûk. Dalam at-Târîkh al-Kabîr,
al-Bukhari berkata tentang Nahsyal ini, "Di dalam hadis-hadisnya terdapat
riwayat-riwayat munkar." An-Nasa`i, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Tahdzîb at-Tahdzîb, berkata, "Dia tidak tsiqah dan hadisnya tidak layak
ditulis."
Dalil
lain yang digunakan oleh ulama yang melarang adalah bahwa membawa mushaf dan
melihat ke dalamnya serta membuka-buka lembarannya adalah termasuk gerakan yang
banyak.
Jawaban
dari dalil ini adalah bahwa jika yang dipermasalahkan adalah gerakan membawa
sesuatu ketika salat, maka Rasulullah saw. pernah membawa Umamah binti Abil Ash
di pundaknya ketika salat. Ketika bersujud beliau meletakkannya, lalu ketika
berdiri lagi beliau menggendongnya kembali. Adapun membuka-buka lembaran
mushaf, maka terdapat beberapa hadis yang menunjukkan kebolehan melakukan
gerakan yang sedikit ketika salat. Membuka lembaran mushaf masuk dalam kategori
amalan sedikit yang dimaafkan ini.
Membaca
dari mushaf tidak selalu merupakan gerakan yang banyak, karena pada umumnya
gerakan ini hanya dilakukan sewaktu-waktu saja, mengingat lamanya jarak antara
membuka satu lembaran dengan membuka lembaran berikutnya. Bahkan, membuka
lembaran itu sendiri termasuk dalam gerakan yang sedikit. Saat ini, sebagian
masyarakat memanfaatkan penyangga khusus yang tinggi dan diletakkan di depan
imam untuk menaruh mushaf. Mushaf tersebut biasanya memiliki tulisan yang besar
dan lembaran yang lebar sehingga tulisan itu dapat terbaca satu atau dua lembar
tanpa perlu melakukan gerakan membuka lembaran.
Dua
murid Abu Hanifah, yaitu Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
berpendapat bahwa membaca Alquran dari mushaf ketika salat adalah mutlak
dimakruhkan, baik itu salat fardu maupun salat sunnah. Akan tetapi perbuatan
itu tidak membatalkan salat, karena merupakan ibadah yang ditambahkan ke ibadah
yang lain. Aspek kemakruhannya adalah karena perbuatan itu menyerupai perbuatan
Ahlul Kitab.
Berdasarkan
kajian yang lebih mendalam, penyerupaan dengan Ahlul Kitab dilarang jika
pelakunya memang bermaksud menyerupainya. Karena wazan kata tasyabbuh
(menyerupai) adalah tafa'-'ul. Wazan ini menunjukkan adanya sebuah niat dan
orientasi untuk melakukan suatu perbuatan dan menghadapi semua kesulitannya.
Mempertimbangkan aspek niat (tujuan) dari mukallaf merupakan salah satu dasar
pengambilan dalil dalam syariat.
Di
antara dalil akan hal ini juga adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
"Rasulullah saw. sakit sehingga kami shalat di belakang beliau yang
melakukan shalat sambil duduk. Beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami
dalam keadaan bediri semua. Lalu beliau memberi isyarat kepada kami sehingga
kami semua pun duduk. Setelah melakukan salam, beliau bersabda,
إِنْ
كِدْتُمْ آنِفاً لَتَفْعَلُوْنَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوْمِ، يَقُوْمُوْنَ عَلَى
مُلُوْكِهِمْ وَهُمْ قَعُوْدٌ، فَلاَ تَفْعَلُوْا، اِئْتَمُّوْا بِأَئِمَّتِكُمْ،
إِنْ صَلَّى قَائِماً فَصَلُّوْا قِيَاماً وَإِنْ صَلَّى قَاعِداً فَصَلُّوْا
قُعُوْداً
"Sesungguhnya
kalian hampir saja melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Persia
dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan para raja mereka yang sedang duduk.
Janganlah kalian melakukan itu. Ikutilah imam kalian. Jika ia melakukn shalat
dalam keadaan duduk maka shalatlah dalam keadaan duduk juga dan jika ia shalat
dalam keadaan berdiri maka shalatlah dalam keadaan berdiri juga."
Kata
"kidtum" (hampir) dalam hadis di atas menunjukkan tidak terjadinya
sesuatu yang dikhawatirkan meskipun nyaris terjadi. Perbuatan orang-orang
Persia dan Romawi telah benar-benar terjadi dan dilakukan oleh para sahabat,
tapi karena mereka tidak bermaksud untuk mengikuti atau menyerupai perbuatan
tersebut maka mereka tidak dianggap telah menyerupai orang-orang Persia dan
Romawi.
Oleh
karena itu, Ibnu Nujaim, salah seorang ulama Hanafi, berkata dalam kitabnya
al-Bahr ar-Râiq, "Ketahuilah bahwa perbuatan menyerupai Ahlul Kitab tidak
diharamkan secara mutlak. Kita makan dan minum seperti mereka. Yang diharamkan
adalah menyerupai tindakan yang tercela dan dengan maksud mengikuti mereka.
Oleh karena itu seandainya tidak bertujuan untuk meniru mereka, maka menurut
keduanya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan) hal itu tidak dimakruhkan."
Dalam
masalah membaca Alquran dengan mushaf ketika salat ini, para ulama Mazhab
Maliki membedakan antara salat fardu dan salat sunnah. Mereka berpendapat bahwa
hal itu dimakruhkan secara mutlak dalam salat fardu, baik pembacaan itu
dilakukan sejak awal salat atau ketika di tengah-tengah salat. Dalam salat
sunnah hal itu dimakruhkan juga jika memulai membaca dari mushaf ketika di
tengah-tengah salat, karena pada umumnya orang yang salat sibuk dengan amalan salatnya.
Namun, hal itu dibolehkan tanpa adanya kemakruhan jika sudah memulainya dari
awal salat. Karena terdapat hal-hal yang dapat ditolerir dalam salat sunnah
tapi tidak dapat ditolerir dalam salat fardu. (Minah al-Jalîl Syarh Mukhtashar
al-Khalîl).
Alasan
di atas dijawab bahwa kemakruhan ini bisa terjadi jika gerakan tersebut adalah
gerakan main-main yang tidak ada gunanya. Orang yang salat dilarang untuk
melakukan perbuatan seperti itu, karena bertentangan dengan kekhusyukan dalam
salat. Membaca mushaf ketika salat tidaklah termasuk dalam kategori ini, tetapi
masuk dalam gerakan ringan untuk tujuan yang diinginkan. Semua perbuatan yang
masuk dalam gerakan ringan ini tidak apa-apa untuk dilakukan. Landasan dalil
bagi hal ini adalah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi saw. melepas kedua
sandalnya di saat salat ketika diwahyukan kepada beliau bahwa di sandal
tersebut terdapat kotoran (najis). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Abu Dawud dari Abu Sa'id al-Khudri radliyallahu ‘anhu.
Berdasarkan
semua penjelasan di atas, maka membaca Alquran dari mushaf ketika salat, baik
fardu maupun sunnah, adalah boleh secara syarak tanpa ada kemakruhan di
dalamnya apalagi sampai membatalkan salat.
Hanya
saja perlu diperhatikan bahwa selama masalah ini merupakan masalah yang masih
diperdebatkan oleh para ulama, maka terdapat kelapangan di dalamnya. Hal itu
sesuai dengan kaidah syarak bahwa tidak boleh melakukan pengingkaran dalam
masalah khilaf. Dan tidak boleh pula hal ini menjadi penyebab terjadinya
ketidaktentraman dan pertikaian antar orang-orang muslim.
Wallahu
subhânahu wa ta'âlâ a'lam.
__________
القراءة من
المصحف في الصلاة
تاريخ
الإجابة : 21/08/2008 الرقـم المسلسل :
1207
ورد
من السيد/ إ. م. أ. يقول فيه: هل يجوز القراءة من المصحف أثناء الصلاة؟
الـجـــواب
: أمانة الفتوى
من
أفضل القربات والسُّنن الحَسَنات أن يجمع الإنسان بين الحُسنيين: الصلاة، وقراءة
القرآن، فيحرص على ختم القرآن الكريم في صلاته، ولما كان من غير المتيسر لكل واحد
أن يقوم بذلك من حفظه تكلم الفقهاء عن إمكانية الاستعانة بالقراءة من المصحف في
الصلاة، وذلك عن طريق حمله في اليد، أو وضعه على حامل يُمَكِّن المصلي من القراءة
ومذهب
الشافعية، والمفتى به في مذهب الحنابلة: جواز القراءة من المصحف في الصلاة للإمام
والمنفرد لا فرق في ذلك بين فرض ونفل وبين حافظ وغيره، وهذا هو المعتمد، ونقله
الإمام ابن قُدامة في (المغني، 1/ 336) عن عطاء ويحيى الأنصاري من فقهاء السلف
وفي
صحيح البخاري معلَّقًا بصيغة الجزم -ووصله ابن أبي شيبة في (المصنف، 2/ 235)،
والبيهقي في (السنن الكبرى، 2/ 253)- عن عائشة أم المؤمنين رضي الله عنها أنها كان
يؤمها عبدها ذكوان ويقرأ من المصحف
وسُئِل
الإمام الزهريُّ عن رجل يقرأ في رمضان في المصحف, فقال: "كان خيارنا يقرؤون
في المصاحف" (المدونة الكبرى، 1/ 288 - 289)، والمغني لابن قدامة (1/335
وكما
أن قراءة القرآن عبادة فإن النظر في المصحف عبادة أيضًا، وانضمام العبادة إلى
العبادة لا يوجب المنع، بل يوجب زيادة الأجر؛ إذ فيه زيادة في العمل من النظر في
المصحف.
قال
حجة الإسلام الغزالي في (إحياء علوم الدين، 1/ 229): "وقد قيل الختمة في
المصحف بسبع؛ لأن النظر في المصحف أيضًا عبادة
والقاعدة
الشرعية أن الوسائل تأخذ حكم المقاصد، والمقصود هو حصول القراءة، فإذا حصل هذا
المقصود عن طريق النظر في مكتوب كالمصحف كان جائزًا
قال
الإمام النووي في (المجموع، 4/ 27): "لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته،
سواء كان يحفظه أم لا، بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة، ولو قلب أوراقه أحيانًا
في صلاته لم تبطل
وقال
العلامة منصور البهوتي الحنبلي في (كشاف القناع، 1/ 384): "وله -أي المصلي-
القراءةُ في المصحف ولو حافظًا... والفرض والنفل سواء، قاله ابن حامد
بينما
يرى الحنفية أن القراءة من المصحف في الصلاة تفسدها، وهو مذهب ابن حزم من
الظاهرية، واستَدَل على ذلك بأدلة منها
ما
أخرجه ابن أبي داود في (كتاب المصاحف، 655) عن ابن عباس رضي الله عنهما قال:
"نهانا أمير المؤمنين عمر رضي الله عنه أن يؤم الناس في المصحف، ونهانا أن
يؤمنا إلا المحتلم
وهذا
أثر لا يثبت؛ ففي إسناده نَهْشَل بن سعيد النيسابوري، وهو كذاب متروك، قال عنه
البخاري في (التاريخ الكبير، 8/ 115): في أحاديثه مناكير، وقال النسائي كما في
(تهذيب التهذيب، 10/ 427): ليس بثقة، ولا يُكتَب حديثُه
ومنها:
أن حمل المصحف والنظر فيه وتقليب الأوراق عملٌ كثير
والجواب
المنع من أن يكون حمل المصحف وتقليب أوراقه عملًا كثيرًا مبطلا للصلاة؛ أما الحمل
فقد صلى رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم حاملا أُمامة بنت أبي العاص على عاتقه
فإذا سجد وضعها وإذا قام حملها، وأما تقليب أوراق المصحف فقد جاءت بعض الأحاديث
الدالة على إباحة العمل اليسير في الصلاة، والتقليب هو من جنس هذا العمل اليسير
المغتفر
والقراءة
من المصحف لا يلزم أن تصل لحد العمل الكثير، فتقليب أوراق المصحف يكون في أضيق
نطاق لبعد الزمان بين طيّ الصفحة والتي بعدها، ولكون التقليب في ذاته عملًا
يسيرًا، وقد يُستعان على هذا بوضع المصحف ذي الخط الكبير على شيء مرتفع أمام
المصلي ليقرأ منه الصفحة والصفحتين، ولا يحتاج إلى تقليب الأوراق كثيرًا
وذهب
الصاحبان من الحنفية أبو يوسف القاضي ومحمد بن الحسن الشيباني إلى أن القراءة من
المصحف في الصلاة مكروهة مطلقًا سواء في ذلك الفرض والنفل، ولكنها لا تُفْسِد
الصلاة؛ لأنها عبادة انضافت إلى عبادة، ووجه الكراهة أنها تَشَبُّهٌ بصنيع أهل
الكتاب
والتحقيق
أن حصول ما يشبه صنيع أهل الكتاب إنما يكون ممنوعًا إذا كان الفاعل قاصدًا لحصول
الشبه؛ لأن التشبه: تَفَعُّل، وهذه المادة تدل على انعقاد النية والتوجه إلى قصد
الفعل ومعاناته، ومن الأصول الشرعية اعتبار قصد المكلف، ويدل على ذلك أيضًا ما
رواه الإمام مسلم عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: «اشْتَكَى رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ
قَاعِدٌ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا
فَقَعَدْنَا فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ
فَارِسَ وَالرُّومِ: يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ، فَلَا
تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا،
وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا»، و"كاد" تدل في الإثبات على
انتفاء خبرها مع مقاربة وقوعه، ولذلك لَمّا لم يقصد الصحابة التشبه انتفى ذلك
الوصف عنهم شرعًا، والمصلي الذي يقرأ من المصحف لا يخطر بباله التشبه بهم فضلا عن
قصده
ولذلك
قال العلامة ابن نجيم الحنفي في (البحر الرائق، 2/ 11): "اعلم أن التشبيه
بأهل الكتاب لا يكره في كل شيء، وإنا نأكل ونشرب كما يفعلون، إنما الحرام هو
التشبه فيما كان مذمومًا وفيما يقصد به التشبيه، فعلى هذا لو لم يقصد التشبه لا
يكره عندهما" اهـ
وذهب
المالكية إلى التفرقة بين الفرض والنفل؛ فرأوا كراهة قراءة المصلي في المصحف في
صلاة الفرض مطلقًا سواء كانت القراءة في الأول أو في الأثناء؛ وكذلك يكره في
النافلة إذا بدأ في أثنائها؛ لاشتغاله غالبًا، ويجوز ذلك في النافلة إذا ابتدأ
القراءة في المصحف من غير كراهة; لأنه يغتفر فيها ما لا يغتفر في الفرض. (منح
الجليل شرح مختصر خليل، 1/ 345
ويمكن
أن يُجاب عن ذلك بأن هذه الكراهة إنما تتأتى إذا كان العمل في حد العبث، الذي هو
اللعب وعمل ما لا فائدة فيه، فيكره للمصلي حينئذ أن يشتغل به؛ لِمَا فيه من منافاة
للخشوع، أما القراءة من المصحف في الصلاة فليست من هذا الباب، بل هي عمل يسير
يفعله المصلي لحاجة مقصودة، وكل ما كان من هذا الباب فلا بأس أن يأتي به؛ وأصل ذلك
ما ورد أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم خلع نعليه في الصلاة لَمّا أُوحي إليه أن
فيهما قذرًا، كما رواه الإمام أحمد في مسنده (3/92)، وأبو داود في سننه (650) عن
أبي سعيد الخدري رضي الله عنه
وبناءً
على ما سبق يثبت ما قررنا من أن القراءة من المصحف في صلاة الفرض والنفل صحيحة
وجائزة شرعًا ولا كراهة فيها فضلًا عن أن تكون مفسدة للصلاة
على
أنه ينبغي التنبيه على أنه ما دامت المسألة خلافية فالأمر فيها واسع؛ لِمَا تقرر
من أنه لا إنكار في مسائل الخلاف، ولا يجوز أن تكون مثار فتنة ونزاع بين المسلمين.
والله سبحانه وتعالى أعلم
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload