Biografi Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
5/12/2015
A.
Muqaddimah
Dalam panggung
sejarah, Islam sudah lama dikenal oleh penduduk Melayu. Bahkan menurut Ustadz
‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah atau
yang lebih dikenal dengan Hamka, Islam sudah melebarkan sayapnya
di bumi Melayu sejak abad pertama hijriah. Namun sayang, meski
Islam sudah sekian abad di Melayu, ajaran-ajaran yang diamalkan kaum muslimin
di sana banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah.
Ajaran-ajaran tasawwuf ala shufi dan keyakinan-keyakinan bid’ah dan sesat
seperti takhayul, khurafat sampai ajaran martabat tujuh atau wihdatul
wujud banyak mewarnai amalan-amalan kaum muslimin di bumi Melayu.
Seiring bergulingnya
waktu, kaum muslimin di Melayu mulai sadar akan kekeliruan ajaran yang selama
ini mereka anggap bagian dari Islam justru bertentangan. Maka usaha-usaha dalam
memurnikan ajaran Islam di Melayu pun segera dimulai. ‘Episode’ pertama diawali
oleh tiga jama’ah haji yang membawa oleh-oleh dari Tanah Suci berupa ‘filter’
ajaran sesat di ranah Minangkabau. Kemudian ‘episode’ berikutnya ditunjukkan
oleh Syaikh Ahmad Al Khathib rahimahullah, seorang ulama yang muqim
di Makkah yang terkenal dengan kegigihannya dalam menyerang
kelompok-kelompok ahlul bida’ wal ahwa’ dan adat-adat yang
bertentangan dengan syariat Islam baik melalui tulisan-tulisan maupun
murid-muridnya yang kembali ke Melayu.
B.
Nasab & Kelahiran Syaikh Ahmad Al Khathib
Beliau bernama lengkap
Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif [bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah
bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy
Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Syaikh Ahmad Al
Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang, Kec. Ampek Angkek Angkat
Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H
bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di tengah keluarga bangsawan. ‘Abdullah, kakek
Syaikh Ahmad atau buyut menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh
masyarakat Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak
itulah gelar Khathib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke
keturunannya di kemudian hari.
Ada perbedaan mengenai
siapa kakek Syaikh Ahmad. Menurut ‘Umar ‘Abdul Jabbar, ‘Abdullah bin
‘Abdurrahman Al Mu’allimi, dan Ibrahim bin ‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh
Ahmad adalah ‘Abdullah. Sedangkan menurut Dadang A. Dahlan, kakek Syaikh Ahmad
adalah ‘Abdurrahman yang bergelar Datuk Rangkayo Basa. Terlepas dari perbedaan
itu, yang jelas Syaikh Ahmad berasal dari keluarga bangsawan, baik dari jalur
ayah maupun ibu.
C.
Perjalanan Syaikh Ahmad dalam Thalabul
‘Ilmi
Ketika masih di
kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu
pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau Kweek School yang tamat
tahun 1871 M.
Di samping belajar di
pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar)
ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula, Ahmad
kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H,
Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif, ke Tanah Suci Makkah untuk
menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji selesai ditunaikan,
‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad tetap tinggal di Makkah
untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan menuntut ilmu dari para ulama-ulama
Makkah terutama yang mengajar di Masjid Al Haram terutama yang mengajar di
Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru
Syaikh Ahmad di Makkah adalah:
1.
Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I
(1259-1330 H)
2.
Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i
(1263-1295 H)
3.
Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al
Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Dalam Ensiklopedi
Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama
lain sebagai guru Syaikh Ahmad, yaitu:
4.
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab
Syafi’I di Makkah-
5.
Yahya Al Qalyubi
6.
Muhammad Shalih Al Kurdi
Mengenai bagaimana
semangat Syaikh Ahmad dalam thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita
dengarkan penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu
Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa
Tarajim hal. 38-39, “…Beliau adalah santri teladan dalam semangat,
kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam
dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya
dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu
hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian
waris, ilmu miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam
disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Selain mempelajari
ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung
ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan
juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh.
D.
Syaikh Ahmad Menikah dan Menjadi Seorang Ayah
Di antara kebiasaan
Syaikh Ahmad di Makkah adalah menyeringkan diri mengunjungi toko buku milik
Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di dekat Masjid Al Haram untuk membeli
kitab-kitab yang dibutuhkan atau sekedar membaca buku saja jika belum memiliki
uang untuk membeli. Karena seringnya Syaikh Ahmad mengunjungi toko buku itu
membuat pemilik toko, Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama
setelah mengetahui kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap
ilmu agama serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al
Kurdi terhadap Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dijadikannya Syaikh Ahmad sebagai
menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui tentang prihal dan kepribadian Syaikh
Ahmad yang mulia itu, Shalih Al Kurdi pun menikahkannya dengan putrid
pertamanya yang kata Hamka dalam Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya
Syaikh Ahmad sempat ragu menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya
biaya yang mencukupi dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru
tidak sedikit pun mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu.
Bahkan Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan
kebutuhan hidup keluarga Syaikh Ahmad. Masya Allah. Jika
karena bukan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal
semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan
Syaikh Ahmad sebagai menantu Shalih Al Kurdi, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya
terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda telah menikahkan putrid Anda dengan
lelaki Jawi yang tidak pandai berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di
Makkah?” “Akan tetapi ia adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih
seketika, “Padahal Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda,
‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian
ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan
Khadijah itu, Syaikh Ahmad dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim
(1300-1357 H).
Ternyata pernikahan Syaikh Ahmad dengan Khadijah tidak
berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia. Shalih Al Kurdi, sang mertua,
untuk menikah kembali dengan purinya yang lain, yaitu adik kandung Khadijah
yang bernama Fathimah. Fathimah adalah seorang seorang wanita teladan dalam
keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh karena itu tidak heran
jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di
Timur Tengah, yaitu:
1.
‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki
kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu
mempelajari adab dan politik.
2.
‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair
kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar
Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al
Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudulSirah
Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Imam Al ‘Adil (sejarah
dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)
Kesuksesan Syaikh
Ahmad dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi tokoh-tokoh berhasil
bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu berawal dari sistem pendidikan
yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang mulia terutama masalah
‘aqidah. Mari sejenak kita dengar langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib
tentang bagaimana Syaikh Ahmad menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika
kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku, beliau akan
berkata,’Mintalah kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu
minta).’ Aku pun balik bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di
langit sana,’ jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak
melihat-Nya.’ Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa
apa yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang
tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku
meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun segera
mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu kepada
Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini
tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya
mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat,
atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta
ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun
segera menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Lihatlah, bagaimana
pendidikan aqidah yang diberikan Syaikh Ahmad kepada anaknya ini. Pendidikan
mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah yang kuat pada diri seorang
anak. Bukankah melukis di batu itu sulit namun hasilnya akan lebih kekal?
Demikian juga dengan diri seorang anak. Seorang anak kecil itu bagaikan gelas
kaca yang masih kosong. Ia tergantung dengan siapa yang pertama kali
mengisinya. Pendidikan yang seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang
tinggi kepada Allah, bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya
kepada-Nya semata bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid
yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas, yang
ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta pertolongan, mintalah
(pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari
pendidikan yang diberikan Syaikh Ahmad kepada keluarganya adalah beliau selalu
menegur dan memperingati bagi siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan
bermain-main dan berbagai hal yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music
dan nyanyian. Semua ini dilakukan Syaikh Ahmad karena bentuk rasa sayangnya
terhadap keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak
seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa cintanya
kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua gerak-gerik dan tingkah
laku keluarganya itulah yang disebut cinta. Padahal boleh jadi prilaku-prilaku
itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi
berbeda dengan Syaikh Ahmad, ia menyadari bahwa seorang ayah kelak akan
dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul ‘alamin. Maka dengan
segenap kemampuannya, Syaikh Ahmad menganjurkan kepada semua keluarganya untuk
menjauhi semua hal-hal yang tidak bermanfaat dan mencukupkan diri dengan
sesuatu yang bermanfaat saja. Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang
beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin
dan akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau,
“Dan laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadapnya.”
E.
Karir Syaikh Ahmad di Makkah
Kealiman Syaikh Ahmad
dibuktikan dengan dilangkatnya beliau menjadi imam dan khathib sekaligus staf
pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan
yang mudah diperoleh. Jabatan ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki
keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab
pengangkatan Syaikh Ahmad Al Khathib menjadi imam dan khathib, ada dua riwayat
yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul
Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal.
39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh
Syaikh Ahmad berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada Syarif
‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikh Ahmad menjadi imam & khathib.
Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku,
Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A.
Dahlan. Ustadz Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib,
suatu ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif ‘Aunur
Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah, mengetahui itu
Syaikh Ahmad pun, yang ketika itu juga menjadi makmum, dengan beraninya
membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat, Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya
siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya
Syaikh Ahmad yang tak lain adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi,
yang terkenal dengan keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur
Rafiq mengangkat Syaikh Ahmad sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk
madzhab Syafi’i.
F.
Sekelumit Aktifitas Keseharian Syaikh Ahmad Al
Khathib
Keseharian para ulama
memang sangat menakjubkan. Di setiap aktifitasnya selalu bernilai ibadah,
sebagaimana kata pepatah Arab,‘adatul ‘abdid ‘ibadah wa ‘ibadatul ghafil
‘adah (kebiasaannya ahli ibadah itu bernilai ibadah sementara
ibadahnya orang lalai itu hanya bernilai kebiasaan saja). Mereka sangat mahir
dalam membagi waktu dan sangat berhati-hati dalam menggunakan waktunya. Meski
mereka memiliki aktifitas mengajar, akan tetapi tidak lantas melupakan hak
keluarganya. Mereka tahu kapan harus bercengkrama dengan keluarga dan kapan
harus pergi mengajar para muridnya. Demikianlah yang terjadi pada diri seorang
Syaikh Ahmad rahimahullah.
Berhubungan dengan
aktifitas keseharian Syaikh Ahmad, sebaiknya kita dengar langsung saja
penuturan Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar yang memang hidup sezaman, “(Setelah mengajar
para santri di Masjid Al Haram), beliau pulang ke rumah untuk sarapan pagi dan
berbaring (tidur-tiduran atau dalam bahasa jawa klekaran) sejenak,
lalu kembali bermudzakarah sampai datang waktu zhuhur. Pergilah
beliau ke masjid untuk menunaikan shalat zhuhur secara berjama’ah. (Usai shalat
jama’ah), beliau pulang ke rumah untuk menyampaikan dua mata pelajar an kepada
murid-muridnya, lalu makan siang dan tidur siang sesaat. Lalu beliau pergi ke
masjid untuk menunaikan shalat ‘Ashar secara berjama’ah, pulang ke rumah
menyampaikan satu pelajaran kepada para santri, kemudian mengulangi (mudzakarah)
pelajaran-pelajarannya hingga datang maghrib. Beliau pun pergi ke masjid untuk
shalat berjama’ah dan menyampaikan satu pelajaran berupa nasehat dan arahan
sampai datang ‘Isya.
Setelah shalat, beliau
pulang ke rumah untuk makan malam dan bercengkrama dengan keluarganya lalu
tidur sedini mungkin. Ia bangun tidur pada sepertiga malam terakhir dan
menyibukkan diri dengan menulis sampai dekat waktu fajar, lalu pergi ke masjid.
Ia pun memulai aktifitasnya seperti biasanya. Demikianlah beliau menghabiskan
hidupnya dalam ketaatan kepada Allah dan menyebarkan agama-Nya.” [Siyar
wa Tarajim (hal. 40)]
G.
Akhlak Syaikh Ahmad Al Khathib
Syaikh Ahmad Al
Khathib dikenal ditengah masyarakat dengan baik hatinya, mulia akhlaknya, lurus
niatnya, tidak suka menjilat (cari muka), dan amat murka dengan
orang-orang yang sombong, dan lapang dadfa.
Itulah akhlak seorang
ulama yang benar-benar mengamalkan ilmunya. Meski kedudukannya tinggi, namun
beliau tidak sombong. Justru dengan kedudukannya yang tinggi itu, beliau
manfaatkan untuk mengajarkan kepada manusia nilai-nilai positif. Maka tidak
heran apabila nama beliau harum di kalangan manusia dan bahkan berkat akhlak
mulianya itu dapat mengundang ratusan santri dari berbagai kalangan untuk
belajar kepadanya.
H.
Wafatnya Syaikh Ahmad
Pada tanggal 9 Jumadil
Ula tahun 1334 H, Allah ‘memanggil’ Syaikh Ahmad ke hadhirat-Nya setelah sekian
lama hidup di dunia yang fana ini. Ya, jatah beliau tinggal di dunia ini telah
habis setelah mencetak kader-kader yang hingga detik ini masih
disebut-sebut. Jasad beliau memang sudah tiada, namun kehadirannya seakan-akan
masih bisa dirasakan karena keilmuan dan peninggalan-peninggalannya berupa
murid-muridnya yang terus memperjuangkan misi-misinya dan terutama karya-karya
ilmiahnya yang masih terus dibaca hingga hari ini. Rahimahullah wa
askanahu fasiha jannatih.
I.
Karya Tulis Syaikh Ahmad
Karya-karya tulis
Syaikh Ahmad dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu karya-karya yang berbahasa
Arab dan karya-karya yang berbahasa Melayu dengan tulisan Arab. Kebanyakan
karya-karya itu mengangkat tema-tema kekinian terutama menjelaskan kemurnian
Islam dan merobohkan kekeliruan tarekat, bid’ah, takhayul, khurafat, dan
adat-adat yang bersebrangan dengan Al Quran & Sunnah.
Karya-karya Syaikh
Ahmad dalam bahasab ’Arab:
1.
Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli
2.
Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah
3.
Ad Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan
Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’
4.
Raudhatul Hussab
5.
Mu’inul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz
6.
As Suyuf wal Khanajir ‘ala Riqab Man Yad’u lil Kafir
7.
Al Qaulul Mufid ‘ala Mathla’is Sa’id
8.
An Natijah Al Mardhiyyah fi Tahqiqis Sanah Asy Syamsiyyah wal
Qamariyyah
9.
Ad Durratul Bahiyyah fi Kaifiyah Zakati Azd Dzurratil
Habasyiyyah
10.
Fathul Khabir fi Basmalatit Tafsir
11.
Al ‘Umad fi Man’il Qashr fi Masafah Jiddah
12.
Kasyfur Ran fi Hukmi Wadh’il Yad Ma’a Tathawuliz Zaman
13.
Hallul ‘Uqdah fi Tashhihil ‘Umdah
14.
Izhhar Zaghalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin
15.
Kasyful ‘Ain fi Istiqlal Kulli Man Qawal Jabhah wal ‘Ain
16.
As Saifu Al Battar fi Mahq Kalimati Ba’dhil Aghrar
17.
Al Mawa’izh Al Hasanah Liman Yarghab minal ‘Amal Ahsanah
18.
Raf’ul Ilbas ‘an Hukmil Anwat Al Muta’amil Biha Bainan Nas
19.
Iqna’un Nufus bi Ilhaqil Anwat bi ‘Amalatil Fulus
20.
Tanbihul Ghafil bi Suluk Thariqatil Awail fima Yata’allaq bi
Thariqah An Naqsyabandiyyah
21.
Al Qaulul Mushaddaq bi Ilhaqil Walad bil Muthlaq
22.
Tanbihul Anam fir Radd ‘ala Risalah Kaffil ‘Awwam, sebuah kitab bantahan untuk risalah
Kafful ‘Awwam fi Khaudh fi Syirkatil Islam karya Ustadz Muhammad
Hasyim bin Asy’ari yang melarang kaum muslimin untuk nimbrung di
Sarekat Islam (SI)
23.
Hasyiyah Fathul Jawwad dalam 5 jilid
24.
Fatawa Al Khathib ‘ala Ma Warada ‘Alaih minal Asilah
25.
Al Qaulul Hashif fi Tarjamah Ahmad Khathib bin ‘Abdil Lathif
Adapun yang berbahasa Melayu adalah:
26.
Mu’allimul Hussab fi ‘Ilmil Hisab
27.
Ar Riyadh Al Wardiyyah fi [Ushulit Tauhid wa] Al Fiqh Asy
Syafi’i
28.
Al Manhajul Masyru’ fil Mawarits
29.
Dhaus Siraj Pada Menyatakan Cerita Isra’ dan Mi’raj
30.
Shulhul Jama’atain fi Jawaz Ta’addudil Jumu’atain
31.
Al Jawahir Al Faridah fil Ajwibah Al Mufidah
32.
Fathul Mubin Liman Salaka Thariqil Washilin
33.
Al Aqwal Al Wadhihat fi Hukm Man ‘Alaih Qadhaish Shalawat
34.
Husnud Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’
35.
Ash Sharim Al Mufri li Wasawis Kulli Kadzib Muftari
36.
Maslakur Raghibin fi Thariqah Sayyidil Mursalin
37.
Izhhar Zughalil Kadzibin
38.
Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat
39.
Al Jawi fin Nahw
40.
Sulamun Nahw
41.
Al Khuthathul Mardhiyyah fi Hukm Talaffuzh bin Niyyah
42.
Asy Syumus Al Lami’ah fir Rad ‘ala Ahlil Maratib As Sab’ah
43.
Sallul Hussam li Qath’i Thuruf Tanbihil Anam
44.
Al Bahjah fil A’malil Jaibiyyah
45.
Irsyadul Hayara fi Izalah Syubahin Nashara
46.
Fatawa Al Khathib dalam versi bahasa Melayu
J. Murid-Murid
Syaikh Ahmad Rahimahullah
Mengenai murid-murid
Syaikh Ahmad rahimahullah, Siradjuddin ‘Abbas berkata,
“Sebagaimana dikatakan di atas bahwa hamper ulama Syafi’I yang kemudian
mengembangkan ilmu agama di Indonesia, seperti Syeikh Sulaiman Ar Rasuli,
Syeikh Muhd. Jamil Jaho, Syeikh ‘Abbas Qadhli, Syeikh Musthafa Purba Baru,
Syaikh Hasan Ma’shum Medan Deli dan banyak lagi ulama-ulama Indonesia pada
tahun-tahun abad XIV adalah murid dari Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau ini.”
[Thabaqatus Syafi’iyah (hal. 406)]
Ucapan senada juga
dinyatakan penulis Ensiklopedi Ulama Nusantara di banyak tempat.Bahkan Dr.
Kareel A. Steenbrink membuat satu pasal dalam Beberapa Aspek:Guru untuk
Generasi Pertama Kau Muda. Namun demikian, tidak salah kiranya kita sebutkan di
sini beberapa murid-muridnya yang menonjol, baik secara keilmuan maupun dakwah
yang mereka lancarkan, di antaranya adalah:
1.
Syaikh ‘Abdul Karim bin Amrullah ra –ayah
Ustadz Hamka-. Seorang ulama kharismatik yang memiliki pengaruh kuat di ranah
Minang dan Indonesia. Di antara karya tulisnya adalah Al Qaulush
Shahih yang membicarakan tentang nabi terakhir dan membantah paham
adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad terutama pengikut Mirza Ghulam Ahmad Al
Qadiyani.
2.
Muhammad Darwis alias Ustadz Ahmad Dahlan bin Abu Bakar bin
Sulaiman ra –pendiri Jam’iyyah Muhammadiyyah-.
3.
Ustadz Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi ra –salah
satu pendiri Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama-.
4.
Ustadz ‘Abdul Halim Majalengka rahimahullah–pendiri
Jam’iyyah I’anatul Mubta’allimin yang bekerja sama dengan Jam’iyyah Khairiyyah
dan Al Irsyad
5.
Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq bin Muhammad ‘Afif Al Banjari ra –mufti
Kerajaan Indragiri-.
6.
Muhammad Thaib ‘Umar
7.
Dan lain-lain.
J.
Usaha (Juhud) Syaikh Ahmad dalam Memurnikan
Ajaran Islam di Nusantara Khususnya dan Dunia Islam Umumnya
Usaha yang dilancarkan
Syaikh Ahmad dalam memurnikan ajaran Islam dari perkara-perkara bid’ah yang
menyesatkan namun tidak disadari di Nusantara diekspresikan melalui murid-murid
dan karya-karyanya.
Adapun melalui
karya-karyanya, Syaikh Ahmad sangat gigih dan keras tanpa kompromi sediktpun
dalam memberantas bid’ah, khurafat, tarikat, ajaran menyimpang dan adat yang
bertolak belakang dengan syariat. Dalam masalah tarekat, misalnya, Syaikh Ahmad
menulis minimal tiga kitab rudud (bantahan), yaitu, Izhhar
Zaughalil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang kemudian
ditranslit ke dalam tulisan latin oleh A. Arief dengan judul Thariqat
Naqasyabandiyah, As Saiful Battar fi Mahq Kalimat Ba’dhil Aghrar
, dan Al Ayat Al Bayyinat fi Raf’il Khurafat. Bahasan
dalam kitab-kitab ini mengacu kepada kitab Al Ba’its fi Inkaril Bida’
wal Hawadits karya Imam Abu Syamah ra. Menurut Ustadz
Hamka, sebagaimana yang dikutib Ustadz Armen Halim Naro ra dalam
salah satu kajiannya, metode bantahan kitab ini –Al Izhhar- persis
dengan bantahan yang diberikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra terhadap
orang-orang menyimpang di zamannya. Melalui karya-karya ini pula Syaikh Ahmad
membantah pandangan Syaikh Muhammad Sa’ad Mungka dan Syaikh Ali Khathib yang
gigih mempertahankan tharikat Naqsyabandiyyah.
Sebenarnya melalui
judul-judul kitab-kitab Syaikh Ahmad saja kita sudah faham kurang lebihnya
bahasan yang disajikan dalam masing-masing kitab trsebut. Misalnya kitab Husnud
Difa’ fin Nahy ‘anil Ibtida’ yang berarti pembelaan yang baik tentang
larangan melakukan bid’ah, dapat diasumsikan bahasan dalam kitab ini banyak
berbicara masalah bid’ah dan khurafat di tengah masyarakat. Ini menunjukkan
bahwa usaha Syaikh Ahmad benar-benar sangat berarti dalam pemurniat Islam di
negerinya.
Dalam masalah adat
yang menyimpang terutama dalam masalah waris dan harta pusaka, Syaikh Ahmad menulis Ad
Da’il Mamu’dan Al Manhajul Masyru’. Kedua buku ini dicetak
dalam satu jilid dengan Ad Da’il Masmu’ dicetak
dipinggiran Al Manhajul Masyru’.
Tidak hanya sapai di
situ perjuangan Syaikh Ahmad dalam membersihkan noda-noda keyakinan umat Islam,
beliau juga membantah syubhat-syubhat yang dihembuskan
Belanda terutama mempertanyakan keabsahan terjadinya isra’ dan mi’raj di tengah
kaum muslimin di Indonesia. Beliau kemudian membantah syubhat-syubhat dalam
bukunya, Dha’us Siraj Pada Menyatakan Isra’ dan Mi’raj yang
terbit tahun 1312 H. Berikutnya, beliau juga menulis Irsyadul Hayara fi
Radd Syubahin Nashara.
Ada kitab Ar
Riyadhul Wardiyyah fil Ushul wal Furu’ yang beliau tulis dalam bahasa
Melayu huruf ‘Arab, membicarakan masalah dasar-dasar aqidah-tauhid dan fiqih
syafi’I praktis supaya menjadi pegangan orang-orang yang balu belajar dan
‘awwam dari kalangan kaum muslimin. Kitab ini sudah dicetak berulang
kali. Allahua’lam.[]
Referensi:
·
‘Abduljabbar, ‘Umar. 1403 H. Siyar wa Tarajim Ba’dhi
‘Ulamaina fil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar lil Hijrah. KSA: Tihamah
·
Al-Hazimi, Ibrahim bin ‘Abdullah. 1419 H. Mausu’ah
A’lamil Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar wal Khamis ‘Asyar Al Hijri fil ‘Alam Al ‘Arabi wal
Al Islami min 1301-1417. KSA: Dar Asy Syarif lin Nasyr wat Tauzi’
·
Al-Mu’allimi, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman. 1421 H. A’lamul
Makkiyyin min Al Qarn At Tasi’ ilal Qarn Ar Rabi’ ‘Asyar Al Hijri. KSA:
Muassasah Al Furqan lit Turats Al Islami
·
Steenbrink, Dr. Karel A. 1984 M. Beberapa Aspek Tentang
Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang
·
Dahlan, Dadang A. 2007. Cahaya dan Perajut Persatuan
Waliullah Ahmad Khatib Al Minangkabawy. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
·
Suprapto, Muhammad Bibit. 2009. Ensiklopedi Ulama
Nusantara. Jakarta: Glegar Media Indonesia
·
Amrullah, ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim. Tafsir Al
Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
·
Ad-Dahlawi, ‘Abdus Sattar bin ‘Abdul Wahhab. 1430 H. Faidhul
Malikil Wahhabil Muta’ali bi Anba’ Awailil Qarn Ats Tsalits ‘Asyar wat
Tawali. KSA: Maktabah Al Asadi
·
‘Abbas, Siradjuddin. 2011. Thabaqatus Syafi’iyah, Ulama
Syafi’I dan Kitab-Kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka
Tarbiyah Baru
Penulis: Ibnu Mawardi
Sumber: muslim.or.id
Ket. gbr diambil dari padangtime.com
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload