Biografi K.H. Asnawi
5/18/2015
A.
Kelahiran, Nama dan Nasab
KH
Raden Asnawi, atau biasa disebut Mbah Asnawi dilahirkan pada hari Jum’at Pon,
kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran, salah satu desa di kecamatan
Kota Kudus, Jawa Tengah. Orang tuanya memberikan nama "Ahmad Syamsyi"
bagi dirinya. Nama ayah beliau adalah H. Abdullah Husnin, sedangkan ibu beliau
bernama Raden Sarbinah. H. Abdullah Husnin, ayah beliau berprofesi sebagai
seorang pedagang konfeksi yang tergolong besar. Apabila dirunut keatas, beliau
merupakan ma keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan
ke-5 KH Mutamakkin Kajen, Margoyoso, Pati, seorang kiyai yang terkenal akan
kewaliannya.
B.
Perkembangan dan Pendidikan
Ahmad
Syamsyi dikenalkan pada pelajaran agama semenjak kecil oleh orang tuanya,
disamping juga mengajarkan cara berdagang. Pada usia 15 tahun, sekitar tahun
1876 M. orang tuanya pindah ke Tulungagung Jawa Timur. Di sana ayahnya
mengajarkan cara berdagang berdagang mulai dari pagi hingga siang.
Sepulang dari berdagang, mulai dari sore sampai malam hari beliau mengaji
di Pondok Pesantren Mangunsari Tulungagung. Beliau juga pernah mengahi kepada
KH. Irsyad Naib, Mayong, Jepara.
C.
Mengajar Ilmu Agama
Sewaktu
umur 25 tahun, kira-kira pada tahun 1886 M. Ahmad Syamsi menunaikan ibadah haji
yang pertama Sepulangnya dari haji pertamanya, nama Raden Ahmad Syamsi diganti
dengan Raden Haji Ilyas. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan
Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga
kalinya.
Kira-kira
umur 30 tahun KHR. Asnawi diajak oleh ayahnya untuk pergi haji yang kedua
dengan niat untuk bermukim di tanah suci. Di saat-saat melakukan ibadah haji,
ayahnya pulang ke rahmatullah, meskipun demikian, niat bermukim tetap
diteruskan selama 20 tahun. Selama itu KHR. Asnawi juga pernah pulang ke Kudus
beberapa kali untuk menjenguk ibunya yang masih hidup beserta adik yang bernama
H. Dimyati yang menetap di Kudus hingga wafat. Ibunya wafat di Kudus sewaktu
KHR. Asnawi telah kembali ke tanah suci untuk meneruskan cita-citanya.
Sepulangnya
dari ibadah haji ini, KHR. Asnawi mulai mangajar dan melakukan tabligh agama.
Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, KHR. Asnawi mengajar Tauhid
di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan
jalan pegunungan yang menanjak ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. KHR.
Asnawi juga selalu berkeliling mengajar dari masjid ke masjid sekitar kota saat
shalat Shubuh.
Secara
khusus KHR. Asnawi juga mengadakan pengajian rutin, seperti Khataman
TafsirJalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Khataman
kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan
Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan
setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid
al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum khatam,
makanya diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai khatam. Kegiatan
dakwah beliau tidaklah terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, melainkan juga
menjangkau ke daerah lain seperti Demak, Jepara, Tegal, Pekalongan, Semarang,
Gresik, Cepu, dan Blora.
Di
antara ilmu yang diutamakan oleh KHR. Asnawi adalah Tauhid dan Fiqih.
Karenanya, bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih
selalu diingat melalui karya populernya yang kini dikenal dengan “Shalawat
Asnawiyyah.” Selain itu karya Asnawi seperti Soal Jawab Mu’taqad Seket,
Fasholatan Kyai Asnawi (yang disusun oleh KH. Minan Zuhri), Syi'ir Nasihat,
Du’aul ‘Arusa’in, Sholawat Asnawiyyah dan syi’iran lainnya juga tetap diajarkan
di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid hingga saat ini.
D.
Kehidupan di mekah
Di
Mekah, KHR. Asnawi tinggal di rumah Syeikh Hamid Manan (Kudus). Namun setelah
menikahi Nyai Hj. Hamdanah (janda Almaghfurlah Syeikh Nawawi al-Bantani), KHR.
Asnawi pindah ke kampung Syami’ah. Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj. Hamdanah
ini, KHR. Asnawi dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya yang hidup hingga
tua. Yaitu H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Shaleh Tayu) dan Alawiyah (istri R.
Maskub Kudus).
Selama
bermukim di Tanah Suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah
tangga, KHR. Asnawi masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama
dengan para ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di
Masjidil Haram maupun di rumah. Para Kyai Indonesia yang pernah menjadi gurunya
adalah KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Mahfudz (Termas), KH. Nawawi (Banten)
dan Sayid Umar Shatha.
Selain
itu, KHR. Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, di
antara yang ikut belajar padanya, antara lain adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah
(Jombang), KH. Bisyri Sansuri (Pati/Jombang), KH. Dahlan (Pekalongan), KH.
Shaleh (Tayu pati), KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KHA. Mukhit
(Sidoarjo). Di samping belajar dan mengajar agama Islam, KHR. Asnawi turut
aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di
Mekah bersama dengan kawan-kawannya yang lain.
Pada
waktu bermukim ini, KHR. Asnawi pernah mengadakan tukar pikiran dengan salah
seorang ulama besar, Mufti Mekah bernama Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau
tentang beberapa masalah keagamaan. Pembahasan ini dilakukan secara tertulis
dari awal masalah hingga akhir, meskipun tidak memperoleh kesepakatan pendapat
antara keduanya. Karena itu KHR. Asnawi bermaksud ingin memperoleh fatwa dari
seorang Mufti di Mesir, maka semua catatan baik dari tulisan KHR. Asnawi dan
Syeikh Ahmad Khatib tersebut dikirim ke alamat Sayid Husain Bek seorang Mufti
di Mesir, akan tetapi Mufti Mesir itu tidak sanggup memberi fatwanya. (sayang,
catatan-catatan itu ketinggalan di Mekah bersama kitab-kitabnya dan sayang
keluarga KHR. Asnawi lupa masalah apa yang dibahas, meskipun sudah diberitahu).
Melihat
tulisan dan jawaban KHR. Asnawi terhadap tulisan Syeikh Ahmad Khatib itu,
tertariklah hati Sayid Husain Bek untuk berkenalan dengan KHR. Asnawi. Karena
belum kenal, maka Mufti Mesir itu meminta bantuan Syeikh Hamid Manan untuk
diperkenalkan dengan KHR. Asnawi Kudus. Akhirnya disepakati waktu perjumpaan
yaitu sesudah shalat Jum’ah. Oleh Syeikh Hamid Manan maksud ini diberitahukan
kepada KHR. Asnawi dan diatur agar KHR. Asnawi nanti yang melayani mengeluarkan
jamuan.
Sesudah
shalat Jum’ah datanglah Sayyid Husain Bek ke rumah Syeikh Hamid Manan dan KHR.
Asnawi sendiri yang melayani mengeluarkan minuman. Sesudah bercakap-cakap,
bertanyalah tamu itu: “Fin, Asnawi?” (Dimana Asnawi?), “Asnawi? Hadza Huwa”
(Asnawi ? Inilah dia) sambil menunjuk KHR. Asnawi yang sedang duduk di pojok,
sambil mendengarkan percakapan tamu dengan tuan rumah. Setelah ditunjukkan,
Mufti segera berdiri dan mendekat KHR. Asnawi, seraya membuka kopiah dan
diciumlah kepala KHR. Asnawi sambil berkenalan. Kata Mufti Sayyid Husain Bek
kepada Syeikh Hamid Manan: "Sungguh saya telah salah sangka, setelah
berkenalan dengan Asnawi. Saya mengira tidaklah demikian, melihat jasmaniahnya
yang kecil dan rapih".
E.
Teguh Dalam Berdakwah
Saat
menjenguk kampung halamannya, bersama kawan-kawannya KHR. Asnawi mendirikan
Madrasah Madrasah Qudsiyyah (1916 M). Dan tidak berselang lama, KHR. Asnawi
juga memelopori pembangunan Masjid Menara secara gotong royong. Malam hari para
santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan
pada siang harinya. Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itulah, terjadi
huru-hara pada tahun 1918 H, kejadian ini berbuntut pada penangkapan terhadap
KH. Asnawi dan rekannya KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid
Sunggingan dan lain-lain, dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan
perampasan oleh pemerintah penjajah. Mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam
penjara dengan masa hukuman 3 tahun.
Pada
zaman penjajahan Belanda, KHR. Asnawi juga sering dikenakan hukuman denda
karena pidatonya tentang Islam serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam
pidatonya. Begitu juga pada masa pendudukan Jepang. KHR. Asnawi pernah dituduh
menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok KHR. Asnawi dikepung oleh
tentara Dai Nippon, dan KHR. Asnawi pun dibawa ke markas Kempetai di Pati.
Meski
sering menghadapi ancaman hukuman, namun KHR. Asnawi tidak pernah berhenti
berdakwah, amar ma'ruf nahi munkar. Bahkan di dalam penjara sekalipun, KHR.
Asnawi tetap melakukan amar ma'ruf nahi munkar. KHR. Asnawi tetap membuka
pengajian di penjara. Banyak kemudian di antara para penjahat kriminal yang
dipenjara bersamanya, kemudian menjadi murid KHR. Asnawi.
F.
Fatwa Larangan Berdasi
Dalam
memperjuangkan Islam, KHR. Asnawi memiliki pendirian yang teguh.
Prinsip-prinsip hidupnya sangat keras dan watak perjuangnnya terkenal galak,
sebab kala itu bangsa Indonesia sedang dirundung nestapa penjajahan kaum kafir.
Keyakinan inilah yang dipeganginya sangat kokoh sekali. Bagi KHR. Asnawi,
segala hal yang dilaksanakan oleh Belanda tidak boleh ditiru. Bahkan tidak
segan-segan KHR. Asnawi memfatwakan hukum agama dengan sangat tegas,
anti-kolonialisme, seperti mengharamkan segala macam bentuk tasyabbuh
(menyerupai) perilaku para penjajah dan antek-anteknya.
Salah
satu diantara fatwanya yang keras ini adalah larangan untuk memakai berdasi dan
menghidupkan radio, termasuk menyerupai gaya jalan orang-orang kafir (Belanda
dan China). Fatwa larangan berdasinya ini sangat terkenal, hingga suatu ketika
KH Saifuddin Zuhri melepaskan dasi dan sepatunya ketika mengunjungi KHR.
Asnawi. KH Saifuddin Zuhri kala itu sedang menjabat Menteri Agama, namun demi
menghormati KHR. Asnawi, ia bertamu hanya dengan memakai sandal tanpa dasi.
G.
Tawaran Menjadi Penghulu
Pada
kisaran tahun 1927 M. KHR. Asnawi membangun pondok pesantren di Desa Bendan
Kerjasan Kudus, di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih (Langgar Dalem) dan
dukungan dari para dermawan dan umat Islam. Pada tahun ini pula, Charles Olke
Van Der Plas (1891-1977), seorang pegawai sipil di Hindia Belanda, pernah
datang ke rumah KHR. Asnawi untuk meminta kesediaannya memangku jabatan
penghulu di Kudus. Secara tegas KHR. Asnawi menolak penawaran tersebut.
Dalam
pandangan KHR. Asnawi, jika dirinya diangkat sebagai penghulu, maka tidak akan
lagi dapat bebas melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat. Beda
halnya jika tetap menjadi orang partikelir, ia dapat berdakwah tanpa harus
menanggung rasa segan (ewuh pakewuh).
H.
Wafatnya KH Asnawi
KHR.
Asnawi berpulang ke rahmatullah pada Sabtu Kliwon, 25 Jumadil Akhir 1378 H.
bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M. pukul 03.00 WIB. KHR. Asnawi meninggal
dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera,
23 cucu dan 18 cicit (buyut). Kabar wafatnya KH.R Asnawi disiarkan di Radio
Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB.
Penyiaran itu atas inisiataif Menteri Agama RI KH Wahab Chasbullah yang
ditelepon oleh HM. Zainuri Noor.
Sumber:
fikihkontemporer.com, edisi 10 Mei 2013, diakses 18 Mei 2015
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload