Kudeta Turki dan 'Perang' Media Sosial
7/28/2016
Upaya kudeta yang dilakukan segelintir militer Turki beberapa waktu lalu terhadap Erdogan berakhir dengan kegagalan. Entah karena persiapan yang belum matang, atau “kharisma” Erdogan yang terlalu kuat sehingga dalam sekejap dapat diredam. Berbagai spekulasi pun berkembang pascakudeta.
Sebagian pengamat, menilai ada kejanggalan dalam kudeta tersebut. Di antaranya, aksi kudeta yang dilakukan antara pukul 20.00-21.00 malam, di mana masih banyak masyarakat yang terjaga. Sementara kudeta sebelumnya (sebagaimana lazimnya) dimulai pada pukul 04.00 pagi. Menurut pengamat, kejanggalan ini sangat kentara, karena kudeta yang dilakukan pada jam-jam sibuk sangat mungkin bagi Erdogan untuk menggerakkan massa guna melakukan perlawanan terhadap pemberontak dengan cara tampil di televisi.
Fethullah Gulen, ulama oposisi Turki, sebagaimana dikabarkan adalah tokoh utama yang dituduh oleh pemerintah Tayyip Erdogan sebagai dalang kudeta militer. Namun tuduhan ini, oleh Gulen justru dikembalikan kepada Erdogan, dengan menuduh balik Erdogan dan partai politiknya yang telah merekayasa kudeta gagal tersebut. Namun demikian, mayoritas warga Turki meragukan teori konspirasi ini karena pada saat kudeta berlangsung Erdogan sedang berlibur.
Pasca kudeta, seperti diberitakan sekitar 8.000 personel polisi di seluruh Turki dipecat sebagai langkah pembersihan yang dilakukan pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Selain itu juga tersiar kabar bahwa sebanyak 103 jenderal ditahan oleh pasukan pemerintah. Sebelumnya disebutkan bahwa sebanyak 6.000 anggota militer, aparat kehakiman dan berbagai institusi negara ditangkap menyusul bentrokan di Istanbul dan Ankara yang menewaskan setidaknya 290 orang.
Pengamat lain menilai bahwa dengan gagalnya kudeta, maka Erdogan akan menjadi semakin kuat dan berpotensi menjadi makin otoriter. Erdogan dianggap oleh lawan-lawan politiknya ingin memperkuat kekuasaan dan pengaruh Islam di Turki yang selama ini dikenal sebagai Negara sekuler. Situs berita Dw.com mengabarkan, ketika ribuan pendukung Presiden Erdogan membanjiri jalan-jalan protokol di Ankara, kelompok sekuler Turki memilih membentengi diri di rumah masing-masing. Keberhasilan pemerintah Erdogan menggagalkan kudeta militer dianggap sebagai kemenangan bagi mayoritas Muslim. Lebih dari itu, kegagalan aksi kudeta militer beberapa waktu lalu juga dikhawatirkan akan memperkuat gelombang Islamisasi di Turki.
Meminjam istilah Tariq Ramadan (2002) bahwa dunia kita saat ini telah menjadi sebuah desa kecil. Istilah desa kecil ini juga semakin menarik ketika teknologi informasi telah hampir mencapai puncaknya seperti saat ini. Dengan demikian, adalah lumrah ketika ketagangan politik di luar negeri–bahkan dari negeri yang jauh sekali pun, seperti Turki–“terimpor” dengan sendirinya ke Indonesia. Sebaliknya, “kegaduhan” kecil yang terjadi di tanah air juga dengan sangat mudah “terkespor” ke luar negeri, bahkan ke negeri yang tidak pernah kita kenal sekali pun.
Seolah sudah menjadi tradisi, ketika terjadi berbagai tragedi atau pun insiden di luar negeri, masyarakat kita juga ikut nimbrung dalam diskusi tanpa batas di media sosial. Kudeta Turki beberapa waktu lalu juga sempat menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan nitizen. Terkait kudeta Turki itu sendiri juga ditanggapi secara pro-kontra oleh publik Indonesia. Sebagian besar menyatakan dukungannya kepada Erdogan sebagai pemimpin terpilih secara demokratis sesuai konstitusi negara Turki. Namun ada pula sebagian yang justru menyatakan dukungannya kepada pemberontak dengan dalih demi pemulihan demokrasi di Turki–di mana ada rumor yang berkembang bahwa Erdogan adalah seorang otoriter.
Demikian pula, ketika pihak pemerintah Turki menyebut Gulen sebagai dalang kudeta, ditanggapi berbeda para pengguna media sosial di Indonesia. Ada kalangan mentah-mentah “menelan” saja berbagai informasi yang menyebut Gulen sebagai dalang kudeta. Sebaliknya, ramai pula para “pendukung” Gulen yang dengan penuh semangat berusaha memosisikan Gulen sebagai sosok yang tidak ada hubungannya dengan kudeta. Tulisan tentang Gulen pun “berhamburan” di media sosial. Mereka seperti tidak rela jika Gulen yang juga disebut sebagai “pewaris” pemikiran Bediuzzaman Said Nursi dituduh sebagai dalang kudeta.
Saya melihat, munculnya dua sikap yang berbeda di atas adalah sebuah fenomena yang wajar–di mana sikap tersebut hanyalah sikap politik, dan tidak melulu didasarkan atas dasar kecenderungan keagamaan. Artinya tidak semua yang mendukung kudeta Turki bisa secara serampangan dituding sebagai pendukung sekularisme dan anti Islam. Sebaliknya tidak semua yang mengecam kudeta dapat dikatagorikan sebagai Muslim yang taat dan pro pada penegakan syariat. Kesimpulan mereka (para komentator) tentunya sangat tergantung pada bagaimana mereka melihat Turki.
Namun sebagai seorang Muslim, mendukung Erdogan dan mengecam pemberontak (kudeta) adalah pilihan terbaik. Apalagi telah nyata kita saksikan bersama bahwa pemberontakan hampir selalu diakhiri kemudharatan, di mana rakyat selalu saja menjadi korban. Untuk kasus-kasus terbaru, kita mungkin bisa melihat bagaimana kondisi Libya pasca pemberontakan. Kita juga bisa melihat konflik Syria yang sampai saat ini masih berlangsung. Di sisi lain, sebagai masyarakat beradab yang menghargai konstitusi dan menyebut diri sebagai “pejuang demokrasi”, kita juga “berkewajiban” menolak segala tindakan yang melanggar konstitusi yang akhirnya juga membunuh demokrasi itu sendiri.
Di Aceh, seperti terlihat di media sosial, juga terdapat beberapa elemen masyarakat yang menunjukkan rasa simpati atas tragedi kudeta yang terjadi di Turki. Sebagaimana dirilis akun Facebook Sahabat Erdogan, Komunitas Pemuda Shubuh Aceh melakukan aksi simpatik dalam rangka merayakan gagalnya kudeta Turki yang dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Namun demikian, ada juga “segelintir” masyarakat Aceh, khususnya pengguna media sosial yang dengan berbagai “gaya” berusaha menujukkan dukungannya kepada gerakan kudeta.
Pada saat isu kudeta Turki mulai berkembang di dunia maya, seorang nitizen Aceh menulis sebuah status di Facebook yang kemudian ditanggapi secara kontroversial. Status nitizen tersebut terkesan “mendukung” upaya kudeta yang dilakukan segelintir militer Turki. Akhirnya sang pemilik status pun dibully beramai-ramai sehingga akhirnya yang bersangkutan menyatakan permohonan maaf. Terlepas dari isi status yang kononnya bernuansa “anti-Erdogan”, aksi “bully massal” yang menimpa seorang nitizen Aceh tersebut juga tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena setiap orang tentu berhak berpendapat.
Namun demikian, derasnya kecaman terhadap nitizen Aceh yang seolah “anti-Erdogan” itu dapat dimengerti jika ditinjau dengan kacamata sejarah, mengingat “romantisme” Aceh-Turki masa lalu. Hubungan mesra antara Kerajaan Aceh dan Kekhalifahan Turki di masa lampau yang terkadang dimeriahkan dengan kisah Meriam Lada Sicupak telah mempererat hubungan emosional antara masyarakat Aceh dengan Turki. Meskipun Turki pasca Mustafa Kemal At-Taturk adalah Turki baru yang sekuler. Hubungan masa lalu ini semakin mantap seiring terjadinya musibah gempa tsunami melanda Aceh pada 2004, di mana Turki turut menunjukkan simpati dan kontribusinya membuat Aceh kembali bangkit. Bagi masyarakat Aceh, meskipun Turki jauh di mata, tapi tetap dekat di hati. Wallahu A’lam.
Oleh Khairil Miswar, mahasiswa pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pertama kali dipublish di waspadamedan.com, edisi 27/7/16
Fethullah Gulen, ulama oposisi Turki, sebagaimana dikabarkan adalah tokoh utama yang dituduh oleh pemerintah Tayyip Erdogan sebagai dalang kudeta militer. Namun tuduhan ini, oleh Gulen justru dikembalikan kepada Erdogan, dengan menuduh balik Erdogan dan partai politiknya yang telah merekayasa kudeta gagal tersebut. Namun demikian, mayoritas warga Turki meragukan teori konspirasi ini karena pada saat kudeta berlangsung Erdogan sedang berlibur.
Pasca kudeta, seperti diberitakan sekitar 8.000 personel polisi di seluruh Turki dipecat sebagai langkah pembersihan yang dilakukan pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Selain itu juga tersiar kabar bahwa sebanyak 103 jenderal ditahan oleh pasukan pemerintah. Sebelumnya disebutkan bahwa sebanyak 6.000 anggota militer, aparat kehakiman dan berbagai institusi negara ditangkap menyusul bentrokan di Istanbul dan Ankara yang menewaskan setidaknya 290 orang.
Pengamat lain menilai bahwa dengan gagalnya kudeta, maka Erdogan akan menjadi semakin kuat dan berpotensi menjadi makin otoriter. Erdogan dianggap oleh lawan-lawan politiknya ingin memperkuat kekuasaan dan pengaruh Islam di Turki yang selama ini dikenal sebagai Negara sekuler. Situs berita Dw.com mengabarkan, ketika ribuan pendukung Presiden Erdogan membanjiri jalan-jalan protokol di Ankara, kelompok sekuler Turki memilih membentengi diri di rumah masing-masing. Keberhasilan pemerintah Erdogan menggagalkan kudeta militer dianggap sebagai kemenangan bagi mayoritas Muslim. Lebih dari itu, kegagalan aksi kudeta militer beberapa waktu lalu juga dikhawatirkan akan memperkuat gelombang Islamisasi di Turki.
“Perang” Media Sosial
Meminjam istilah Tariq Ramadan (2002) bahwa dunia kita saat ini telah menjadi sebuah desa kecil. Istilah desa kecil ini juga semakin menarik ketika teknologi informasi telah hampir mencapai puncaknya seperti saat ini. Dengan demikian, adalah lumrah ketika ketagangan politik di luar negeri–bahkan dari negeri yang jauh sekali pun, seperti Turki–“terimpor” dengan sendirinya ke Indonesia. Sebaliknya, “kegaduhan” kecil yang terjadi di tanah air juga dengan sangat mudah “terkespor” ke luar negeri, bahkan ke negeri yang tidak pernah kita kenal sekali pun.
Seolah sudah menjadi tradisi, ketika terjadi berbagai tragedi atau pun insiden di luar negeri, masyarakat kita juga ikut nimbrung dalam diskusi tanpa batas di media sosial. Kudeta Turki beberapa waktu lalu juga sempat menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan nitizen. Terkait kudeta Turki itu sendiri juga ditanggapi secara pro-kontra oleh publik Indonesia. Sebagian besar menyatakan dukungannya kepada Erdogan sebagai pemimpin terpilih secara demokratis sesuai konstitusi negara Turki. Namun ada pula sebagian yang justru menyatakan dukungannya kepada pemberontak dengan dalih demi pemulihan demokrasi di Turki–di mana ada rumor yang berkembang bahwa Erdogan adalah seorang otoriter.
Demikian pula, ketika pihak pemerintah Turki menyebut Gulen sebagai dalang kudeta, ditanggapi berbeda para pengguna media sosial di Indonesia. Ada kalangan mentah-mentah “menelan” saja berbagai informasi yang menyebut Gulen sebagai dalang kudeta. Sebaliknya, ramai pula para “pendukung” Gulen yang dengan penuh semangat berusaha memosisikan Gulen sebagai sosok yang tidak ada hubungannya dengan kudeta. Tulisan tentang Gulen pun “berhamburan” di media sosial. Mereka seperti tidak rela jika Gulen yang juga disebut sebagai “pewaris” pemikiran Bediuzzaman Said Nursi dituduh sebagai dalang kudeta.
Saya melihat, munculnya dua sikap yang berbeda di atas adalah sebuah fenomena yang wajar–di mana sikap tersebut hanyalah sikap politik, dan tidak melulu didasarkan atas dasar kecenderungan keagamaan. Artinya tidak semua yang mendukung kudeta Turki bisa secara serampangan dituding sebagai pendukung sekularisme dan anti Islam. Sebaliknya tidak semua yang mengecam kudeta dapat dikatagorikan sebagai Muslim yang taat dan pro pada penegakan syariat. Kesimpulan mereka (para komentator) tentunya sangat tergantung pada bagaimana mereka melihat Turki.
Namun sebagai seorang Muslim, mendukung Erdogan dan mengecam pemberontak (kudeta) adalah pilihan terbaik. Apalagi telah nyata kita saksikan bersama bahwa pemberontakan hampir selalu diakhiri kemudharatan, di mana rakyat selalu saja menjadi korban. Untuk kasus-kasus terbaru, kita mungkin bisa melihat bagaimana kondisi Libya pasca pemberontakan. Kita juga bisa melihat konflik Syria yang sampai saat ini masih berlangsung. Di sisi lain, sebagai masyarakat beradab yang menghargai konstitusi dan menyebut diri sebagai “pejuang demokrasi”, kita juga “berkewajiban” menolak segala tindakan yang melanggar konstitusi yang akhirnya juga membunuh demokrasi itu sendiri.
Turki Dan Aceh
Di Aceh, seperti terlihat di media sosial, juga terdapat beberapa elemen masyarakat yang menunjukkan rasa simpati atas tragedi kudeta yang terjadi di Turki. Sebagaimana dirilis akun Facebook Sahabat Erdogan, Komunitas Pemuda Shubuh Aceh melakukan aksi simpatik dalam rangka merayakan gagalnya kudeta Turki yang dipusatkan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Namun demikian, ada juga “segelintir” masyarakat Aceh, khususnya pengguna media sosial yang dengan berbagai “gaya” berusaha menujukkan dukungannya kepada gerakan kudeta.
Pada saat isu kudeta Turki mulai berkembang di dunia maya, seorang nitizen Aceh menulis sebuah status di Facebook yang kemudian ditanggapi secara kontroversial. Status nitizen tersebut terkesan “mendukung” upaya kudeta yang dilakukan segelintir militer Turki. Akhirnya sang pemilik status pun dibully beramai-ramai sehingga akhirnya yang bersangkutan menyatakan permohonan maaf. Terlepas dari isi status yang kononnya bernuansa “anti-Erdogan”, aksi “bully massal” yang menimpa seorang nitizen Aceh tersebut juga tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena setiap orang tentu berhak berpendapat.
Namun demikian, derasnya kecaman terhadap nitizen Aceh yang seolah “anti-Erdogan” itu dapat dimengerti jika ditinjau dengan kacamata sejarah, mengingat “romantisme” Aceh-Turki masa lalu. Hubungan mesra antara Kerajaan Aceh dan Kekhalifahan Turki di masa lampau yang terkadang dimeriahkan dengan kisah Meriam Lada Sicupak telah mempererat hubungan emosional antara masyarakat Aceh dengan Turki. Meskipun Turki pasca Mustafa Kemal At-Taturk adalah Turki baru yang sekuler. Hubungan masa lalu ini semakin mantap seiring terjadinya musibah gempa tsunami melanda Aceh pada 2004, di mana Turki turut menunjukkan simpati dan kontribusinya membuat Aceh kembali bangkit. Bagi masyarakat Aceh, meskipun Turki jauh di mata, tapi tetap dekat di hati. Wallahu A’lam.
Oleh Khairil Miswar, mahasiswa pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pertama kali dipublish di waspadamedan.com, edisi 27/7/16
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload