Umat Islam dan Tingkeban
10/13/2015
Upacara Tingkeban atau Sedekah Nujuh Bulan (bagi wanita
hamil) merupakan tradisi ritual yang masih dilakukan oleh sebagian umat Islam
di Indonesia. Adakah ini bersumber dari Islam atau pengaruh dari luar?
Bagaimana hukumnya? Mengapa harus tujuh bulan, dan bukan empat bulan?
Untuk menjawab semua pertanyaan itu, kita perlu
menghubungkannya dengan masalah proses kejadian (reproduksi) manusia
berdasarkan al-Qur’an yang disinkronkan dengan hasil penelitian Dr. Maurice
Buchaille yang mengelompokkan soal reproduksi manusia pada empat kelompok. Pertama,
pembuahan (fecaudation) yang terjadi dari sedikit kadar cairan. Kedua, watak
dari zat cair yang membuahi. Ketiga, menetapnya telur yang sudah
dibuahi. Keempat, perkembangan embrio.[1]
Pendapat Maurice di atas merupakan penemuan modern yang
kini dijadikan kerangkan acuan atau landasan teori oleh para ahli medis.
Sebenarnya jauh sebelum munculnya teori Maurice, al-Qur’an sudah menjelaskan
begitu gambling dan rinci tentang proses kejadian manusia. Menurut al-Qur’an,
manusia itu terjadi dari setetes air mani (sperma laki-laki) yang berhasil
membuahi (rahim wanita). Sebagaimana firman Allah:
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke
dalam rahim).” (Q.S. al-Qiyamah: 37)
Sperma tersebut tidak langsung begitu saja menjadi
wujud manusia sempurna, tapi ada tahap pemrosesan seperti yang dijelaskan dalam
al-Qur’an:
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendak sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kam sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafarkan dan (ada pula) yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, sehingga dia tiak mengetahui lagi sesuatu yang dahulunya dia ketahui…” (Q.S. al-Hajj: 5)[2]
Ayat al-Qur’an bermakna mujmal (global) di atas
dijelaskan oleh beberapa ayat lain dan hadis Nabi saw.. Salah satu hadis Nabi
yang menjelaskan ayat tersebut ialah yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan
Muslim dari Abi Abdur Rahman. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa proses
diciptakannya manusia dimulai dari setetes air mani (nutfah) yang berada dalam
rahim selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal darah selama 40 hari, dan
menjadi sekerat daging selama 40 hari. setelah jani berusia 40 hari (4 bulan),
maka Allah mengutus malaikat untuk empat perkara: rezeki, ajal, amal, dan nasib
(si janin kelak), apakah bahagia atau celaka.
Karena itu, pada usia wanita hamil empat bulan,
seyogyanya keluarga muslim memohon doa kepada Allah agar si janin berada dalam
hidup sempurna dan selamat lahir-batin di dunia dan akhirat.
Jadi, kalau kita melihat penjelasan di atas, maka
terjawablah sudah persoalan upacara tingkeban dalam Islam. Pada prinsipnya
Islam tidak mengenal tradisi tingkeban atau nujuh bulan. Kalau pun ada, namanya
selamatan empat bulan karena sesuai dengan saat malaikat meniupkan ruh pada
janin, yakni dalam usia empat bulan. Itu pun pelaksanaannya tidak boleh
berlebihan dan tetap berada dalam konteks Islam.
Jika kita memaksa juga mengadakan upacara nujuh bulan, maka hendaknya luruskan niatnya, yakni bersyukur kepada Allah bahwa janin ini telah diselamatkan hingga usia tujuh bulan (tidak keguguran). Berdoalah kepada Allah –karena berdoa dianjurkan dalam Islam- agar si bayi, khususnya, kelak menjadi manusia saleh, dan kepada keluarganya semoga Allah menjadikannya keluarga muslim yang bahagia, dunia dan akhirat.
Bagaimana dengan upacara-upacara tingkeban yang masih
dilakukan umat Islam sekarang, yang lebih banyak tidak cocoknya dengan
nilai-nilai Islam? Upacara-upacara semacam ini tampaknya pengaruh dari tradisi
Hindu. Sebab, dalam Hindu, upacara ritual mereka. Dengan kata lain, upacara
merupakan ibadah mereka. Makin banyak mereka mengadakan upacara atau selamatan,
makin baik. Sebab itu, dalam masyarakat Hindu dikenal banyak macam upacara,
dari mulai upacara harian, mingguan, bulanan, tahunan, sampai pada upacara
saat-saat tertentu.
Drs. KH. Badruddin Hsubky, Bid’ah-Bid’ah di
Indonesia, Gema Insani Pustaka, 2001, hlm. 159
[1]
Maurice Mucalle, Bibel, Qur’an, dan Sains Modern, hlm. 298, terj. H.M. Rasyidi,
Bulan Bintang, 1979.
[2]
Proses penciptaan manusia dijelaskan pula dalam Q.S. al-‘Alaq: 1-3, an-Nahl: 4,
al-Qiyamah: 37-38, al-Mu’min: 13-14, al-Infithar: 6-8, Nuh: 13-14, al-Insan: 2,
as-Sajdah: 8-9, dan ath-Thariq: 5-7.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload