Resolusi Jihad: Urat Nadi Perang Mempertahankan NKRI
10/16/2015
Apa
yang dikhawatirkan Pangeran Hendrik, seorang Pangeran Muda Belanda berusia 16
tahun ketika mendatangi Pangeran Diponegoro di tempat pengasingannya, kiranya
terbukti ketika terjadi revolusi fisik 1945-1949. Meskipun Belanda harus
menghadapi Indonesia secara militer dan diplomasi, namun akhirnya kalah.
“Kelak para penerus trah Diponegoro, tidak saja akan meneruskan perjuangannya, namun akan tiba satu masa, ketika Belanda hanya akan menghadapi dua pilihan, berhadapan secara hitam putih dengan nusantara. Dan ketika itu buat Belanda hanya dua pilihan. Kalah atau memang. Tidak ada jalan tengah,” ujar Pangeran Hendrik.
Sejak
kolonial bercokol di Nusantara, pusat-pusat kekuasan di kerajaan Mataram dan
Banten mulai tergerus oleh perebutan kekuasaan dan campur tangan kolonial.
Perpecahan demi perpecahan terus terjadi sehingga memberikan angin segar bagi
Kolonial Belanda makin memperkukuh kekuasaannya. Pihak yang selalu konsisten
anti kolonial adalah para ulama-santri, sehingga mereka terus menjaga tradisi
perlawanan melawan Kolonial.
Tradisi
perlawanan tersebut tidaklah didasarkan pada pembelaan terhadap suatu kekuasaan
salah satu pihak, tapi karena tindakan kolonial Belanda yang menindas dan
mengganggu tegaknya agama Islam. Banyak ulama-santri yang tidak pernah padam
melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar
sepanjang sejarah, yaitu Perang Jawa Diponegoro. Pasukan Pangeran Diponegoro
selain terdapat para bangsawan juga dipenuhi para ulama-santri dari berbagai
penjuru Jawa.
Para
Ulama santri itulah yang di kemudian hari meneruskan perjuangannya ketika
Pangeran Diponegoro ditangkap. Kyai Abdus Salam Jombang, Kyai Umar Semarang,
Kyai Abdurrauf Magelang, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai
Hasan Basyari Tegalsari Ponorogo dengan muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan
adalah diantara sisa-sisa pasukan Diponegoro yang dikemudian hari menjadi
pionir-pionir terbentuknya kembali jaringan ulama nusantara baik di lokal
maupun internasional.
Setelah
Pangeran Diponegoro tertangkap, perlawanan terhadap Belanda yang tidak pernah
surut datang dari para ulama-santri dan justru lebih strategis dan efektif.
Bahkan lebih dari 130 pertempuran dilakukan kalangan pesantren sejak Diponegoro
ditangkap. Selain melalui pertempuran, pembinaan kader-kader penerus juga
dilakukan. Di akhir abad ke-19 Muncullah Syekh Nawawi Banten yang meneruskan
perjuangan Syekh Yusuf al Makassari, Kyai Sholeh Darat yang meneruskan
perjuangan ayahnya Kyai Umar Semarang, Syekh Mahfudz at Tirmasy cucu Kyai Abdul
Manan yang meneruskan perjuangan Kyai Hasan Besyari, Kyai Abdul Djamil dan Kyai
Abbas Buntet yang meneruskan perjuangan Kyai Muta’ad, dan Syekh Hasyim Asy’ari
serta Kyai Wahab Hasbullah keturunan Kyai Abdus Salam Jombang, dan masih banyak
lagi ulama lainnya.
Ulama-ulama
tersebut telah berhasil membangun jaringan ulama nusantara yang menjahit
keterikatan hubungan antara guru-murid
yang di kemudian hari membangun jam’iyah Nahdlatul Ulama yang memiliki
kontribusi penting bagi terbangunnya pergerakan nasional menegakkan bangsa dan Negara
Indonesia.
Begitu
strategisnya jejaring ulama-santi, sehingga sebelum menemui Marsekal Terauchi
ke Dalat, Soekarno telah mengadakan konsultasi dengan beberapa pemuka agama
Islam di antaranya Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari mengenai kemungkinan hari
atau tanggal diumumkannya kemerdekaan serta jaminan dari umat Islam jika
proklamasi jadi diumumkan. Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari memberikan jaminan
bahwa pihaknya telah menghubungi Angkatan Laut Jepang di Surabaya dan mereka
setuju jika Sukarno nantinya yang akan dijadikan sebagai pimpinan negara begitu
kemerdekaan diumumkan. Jaminan dari Hadlaratussyaikh Hasyim Asyari merupakan
penegasan bahwa Nahdlatul Ulama akan berdiri di belakang proklamasi dan
membelanya dari pihak-pihak yang mencoba menggagalkan dan menentangnya.
Pergerakan
ulama-santri melawan kolonial yang bermuara pada terbentuknya Laskar Hizbullah.
Pada era politik etis kolonial Belanda, kalangan pesantren begitu
terpinggirkan, sehingga tidak mendapatkan perhatian dari kebijakan pendidikan,
bahkan terkesan dirugikan. Meskipun demikian, karakteristik pendidikan ala
pesantren tetap dipertahankan dan menjadi ciri khas kalangan Islam tradisional.
Meski tidak mendapatkan perhatian, justru pesantren telah membangun dan menjaga
suatu gerakan menjahit bangsa ini melalui jejaring ulama baik lokal maupun
internasional.
Berdirinya
NU, merupakan hasil dari rangkaian Jejaring Ulama dan Santri tersebut. Tradisi
perlawanan terhadap kolonial terus dijaga oleh ulama dan melalui NU serta MIAI
(Masyumi) bahkan perjuangan dan pergerakan melawan kolonial tersebut lebih
efektif karena mapannya struktur NU dan basis massanya menyebar di
pedesaan. Di saat Perang Dunia II
meletus, dan Jepang menguasai Hindia Belanda, para ulama terus berijtihad agar
kemerdekaan RI segera terwujud. Memanfaaatkan kelemahan Jepang yang terjepit
oleh sekutu meski penindasaan Jepang begitu kejam terhadap rakyat, para ulama
mencoba membangun persiapan-persiapan menyongsong kemerdekaan. Jepang memahami,
kalangan Islam sangat penting dan memiliki posisi strategis, karenanya Jepang
berupaya merangkul Islam khsusnya Islam tradisional. Dalam konteks inilah
laskar Hizbullah dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan RI dan
mempertahankannya.
Saat
kemerdekaan RI diproklamirkan, laskar Hizbullah baik secara moral maupun
organisasional dalam keadaan utuh dan penuh semangat juang tinggi. Secara
organisasional, Hizbullah dalam keadaan
solid hingga masa-masa setelah Proklamasi Kemerdekaan. Bahkan, Laskar Hizbullah
menjadi salah satu kesatuan bersenjata yang paling siap dalam menyongsong satu
era baru yakni era Revolusi Kemerdekaan. Bahkan, untuk membela tanah air, pada
17 September 1945 Fatwa Jihad telah ditandatangani Hadlaratussyaikh Hasyim
Asy’ari yang kemudian dikukuhkan oleh sebuah rapat para kyai pada tanggal 21-22
Oktober 1945 yang dikenal resolusi Jihad.
Resolusi
Jihad, Nadi Perlawanan
Resolusi
jihad tidak hanya sebagai pengobar semangat ulama-santri, tapi juga bertujuan
“mempengaruhi” pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing
yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Banyak terjadi pertempuran-pertempuran
yang melibatkan para Kyai dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan
fisabillah. Di saat tentara negara belum efektif terutama jalur komandonya,
laskarnya ulama santri telah sigap menghadapi berbagai ancaman yang akan
terjadi. Bahkan konsolidasi dan jalur komando laskar Hizbullah dengan dukungan
struktur NU dan Masyumi begitu massif hingga ke pedesaan.
Padahal
Presiden Sukarno mengeluarkan dan menandatangani maklumat tentang pembentukan
tentara nasional yang dinamakan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober
1945, dan masih menitikberatkan fungsi keamanan. Karenanya, fungsi pertahanan
acapkali dilakukan oleh kesatuan-kesatuan laskar di berbagai daerah. Hizbullah
merupakan kesatuan laskar yang cukup solid dan telah memiliki anggota yang
cukup banyak. Di bawah bendera Masyumi, semua ormas Islam telah membentuk
laskar-laskar Hizbullah di daerahnya masing-masing.
Pada
saat terbentuknya TKR pada 5 Oktober 1945, pemerintah dan Hizbullah bersepakat
untuk menempatkan diri sebagai bagian dari organisasi tentara nasional yang
baru dibentuk. Garis pimpinan Hizbullah meliputi pimpinan tingkat pusat hingga
mencapai ke satuan-satuan lokal juga mengikuti TKR. Sepanjang Oktober 1945
Hizbullah terus melakukan konsolidasi dan rekrutmen di berbagai daerah Jawa
Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, bahkan Sumatera. Konsolidasi dan
pengorganisasian Hizbullah bertitik tolak dari keprihatinan dan kewaspadaan
terhadap musuh tiada henti melakukan aksinya dengan tujuan mengagalkan
kemerdekaan.
Surabaya
menjadi medan pertempuran yang cukup menghentakkan pihak sekutu. Surabaya
menjadi Melting Pot Laskar Hizbullah dari berbagai daerah. Dengan berbekal
Fatwa Jihad yang diteguhkan Resolusi Jihad, para pejuang pantang mundur menolak
kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa
khususnya umat Islam untuk membela NKRI.
Pertempuran
10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dari berbagai daerah berada di
garda depan pertempuran. Resolusi jihad juga membahana di Semarang dan
sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan
Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran
mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundan juga di luar
Jawa.
Meskipun
Pertemuan BKR di Yogyakarta untuk memilih seorang panglima TKR baru pada 12
November 1945 namun Resolusi Jihad telah menjadi pegangan seluruh umat Islam di
Indonesia untuk merapatkan barisan dan melakukan perlawanan terhadap Sekutu dan
Belanda di seluruh wilayah Indonesia.
10
November yang hingga ini dijadikan Hari Pahlawan bukan tanpa alasan.Selain pada
hari tersebut pihak Sekutu, pemenang Perang Dunia II yang tidak pernah
terkalahkan benar-benar menghadapi lawan yang cukup tangguh meski bersenjata
ala kadarnya. 10 November memang tidak membuahkan kemenangan bagi pejuang
Indonesia, bahkan Pada 24-25 November 1945 pasukan Sekutu akhirnya menguasai
seluruh kota Surabaya atau setelah dua minggu penuh bertempur tanpa henti.
Namun, pertempuran terus dilakukan dan menyebar di seluruh pelosok negeri.
Pesantren menjadi basis-basis perlawanan yang tidak pernah surut.
Diplomasi
yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa telah dimanfaatkan pihak kolonial
menyusun kekuatan. Loyalitas ulama-santri diuji, terutama adanya proses-proses
politik dalam reorganisasi dan rasionalisasai tentara Negara. Karena yang
diusung para ulama adalah politik kebangsaan, maka Laskar Hizbullah tidak
mempermasalahkan kebijakan-kebijakan Negara terkait dengan tentara Negara.
Bahkan para ulama tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan kembali
resolusi jihad II. Meskipun perjanjian Linggarjati dan Renville telah
merugikan, namun semangat juang ulama-santri tetap berkobar. Perlawanan tiada
henti dilancarkan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tetap eksis. Belanda
akhirnya melakukan Agresi Militer Belanda dua kali untuk menghancurkan Republik
Indonesia.
Meskipun
demikian, para pejuang tidak mengenal menyerah. Kegigihan para pejuang
menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tetap eksis meskipun ibukota
sudah diluluhlantahkan kolonial Belanda. Resolusi Jihad telah menggerakkan
seluruh jaringan ulama santri dan seluruh rakyat Indonesia untuk terus
melakukan perlawanan terhadap berbagai upaya-upaya Belanda yang ingin menguasai
Indonesia kembali. Para laskar ulama santri, tidak berhenti menjadikan nadi
resolusi jihad bagi para pejuang-pejuang bangsa Indonesia untuk menjaga
tegaknya negara Indonesia. Dan akhirnya, pertempuran selama empat tahun
mendapatkan dukungan dunia internasional hingga diakuinya kedaulatan Indonesia
dalam Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949.
Inilah
kekhawatiran Pengeran Hendrik, tidak ada tawar menawar lagi, Belanda pasti
kalah. Resolusi Jihad telah membentangkan darah para syuhada sebagai saksi
sejarah ditegakkannya NKRI.
Oleh:
Zainul Milal Bizawie, penulis buku “Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad:
Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949)”
Sumber:
harisantri.id
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload