Pandangan Para Ulama tentang Isbal
9/07/2015
Mukaddimah
Seiring dengan arus
kebangkitan Islam, maka kesadaran untuk berislam secara kaffah menjadi hal yang
niscaya, baik oleh muslim dan muslimah. Semangat mengamalkan sunah nabi adalah
bagian dari cakupan kekaffahan pemahaman Islam seseorang. Termasuk keinginan sebagian
pemuda dakwah memendekkan pakaian di atas mata kaki bahkan setengah betis.
Tentu tidak lupa juga memanjangkan jenggot, memendekkan kumis, serta menutup
aurat secara sempurna bagi para muslimahnya.
Fenomena ini harus
disambut gembira dan diberikan dukungan, sebagai pengimbang atas betapa kuatnya
dukungan terhadap kejahiliyahan akhlak pada zaman ini. Selain memang itu
sebagai syi’ar Islam. Namun, di tengah arus kebangkitan Islam, bukan bebarti
tanpa masalah internal. Sering kita melihat sesama aktifis Islam saling serang
hanya karena perselisihan pemahaman fiqih semata, termasukisbal (pelakunya
disebut musbil) ini. Biasanya sikap keras dilancarkan
oleh pihak yang memahami bahwaisbal itu haram walaupun tanpa rasa
sombong. Sementara pihak yang diserang pun tentunya memberikan pembelaan dengan
berbagai hujjah yang mereka miliki. Akhirnya, bukan masalah ini saja dan ini
bukan yang terakhir, para aktifis Islam berputar-putar pada masalah yang memang
sejak lama para ulama berselisih, mereka hanyalah melakukan siaran ulang saja.
Sementara, banyak amal-amal pokok dan produktif menjadi tertinggal.
Seharusnya tidak boleh ada sikap keras dalam masalah isbal ini,
dan seharusnya mereka tahu adanya perselisihan yang masyhur sejak dahulu. Namun
bagi yang ingin menghindar isbal, semoga Allah memberikan pahala atasnya
sebagai upaya menghidupkan sunah.
Sebagian hadits-hadits Tentang Larangan Isbal
Hadits 1:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, Beliau bersabda: “Apa saja yang melebihi dua mata kaki
dari kain sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari No. 5787, An
Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9705, Alauddin Al Muttaqi
Al Hindi dalam Kanzul ‘Umal No. 41158)
Hadits 2:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ
اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada
orang yang menjulurkan kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong.” (HR.
Bukhari No. 5788.
Muslim No. 2087)
Hadits 3:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ
الَّذِي يَجُرُّ ثِيَابَةُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ
إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang menjulurkan
pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada
hari kiamat nanti.” (HR. Muslim No. 2085. Ibnu
Majah No.3569, 3570, An Nasa’i No. 5327, Ahmad No. 4489)
Hadits 4:
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
حَدَّثَهُ
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ
الْخُيَلَاءِ خُسِفَ بِهِ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
Dari Ibnu Umar, dia
mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan sombong, dia
akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai hari kiamat.” (HR.
Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No.
5340)
Hadits
5:
عَنْ سَالِمٍ عَنْ
أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ
الْخُيَلَاءِ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو
بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا
أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Dari Salim, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan
sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu
Bakar berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka,
kainku turun, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang
yang melakukannya karena kesombongan.” (HR. Bukhari No. 3665, An
Nasa’i No. 5335,Ahmad No. 5351)
Hadits 6:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ
يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ زِدْ فَزِدْتُ
فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ
أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda:
“Wahai Abdullah, naikan kain sarungmu.” Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau
bersabda lagi: “Tambahkan.” Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa
menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya: “Sampai mana
batasan?” Beliau bersabda: “Setengah betis.” (HR. MuslimNo. 2086, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.
3134)
Hadits 7:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْضِعُ الْإِزَارِ إِلَى أَنْصَافِ
السَّاقَيْنِ وَالْعَضَلَةِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ
وَرَاءِ السَّاقِ وَلَا حَقَّ لِلْكَعْبَيْنِ فِي الْإِزَارِ
Dari Hudzaifah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tempatnya Izar (kain sarung) adalah
sampai setengah betis, jika kamu tidak mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau
maka di bawah betis dan tidak ada hak bagi kain itu atas kedua mata kaki.” (HR.
At Tirmidzi No. 1783.
Katanya: hasan shahih, An
Nasa’i No. 5329, Ibnu
Majah No. 3572)
Dan masih banyak hadits
shahih yang semisal ini.
Perkataan Para Ulama
Para ulama terbagi
menjadi tiga kelompok dalam memaknai hadits-hadits di atas. Ada yang
mengharamkan isbal secara mutlak, baik dengan sombong atau tidak. Ada yang
memakruhkan. Ada pula yang membolehkan jika tanpa kesombongan. Ada pun jika dengan sombong, semua mengharamkan tanpa
perbedaan pendapat.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid Rahimahullah:
وجمهور العلماء من
المذاهب الأربعة على عدم التحريم
“Dan Jumhur (mayoritas) Ulama dari kalangan
empat madzhab tidak mengharamkannya.”
A. Kelompok yang
membolehkan
Kelompok ini mengatakan
bahwa dalil-dalil larangan isbal adalah global (muthlaq),
sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang spesifik (muqayyad).
Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram, tetapi ada sebab (‘illat)
yang men-taqyid-nya yaitu karena sombong (khuyala’). Kaidahnya
adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti
dibawa/dipahami kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya) .
Imam Abu Hanifah Radhiallahu
‘Anhu
Dalam Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih berkata:
قَالَ صَاحِبُ
الْمُحِيطِ مِنْ الْحَنَفِيَّةِ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ
ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ
عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا
ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ
“Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan
Hanafiyah, dan diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullahmemakai
mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka
ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah
menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku
sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al
Adab Asy Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi’ Al Islam)
Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu
Masih dalam Al
Adab Asy Syar’iyyah:
وَقَالَ فِي رِوَايَةِ
حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ
وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ
Dalam satu riwayat Hambal berkata: “Menjulurnya kain sarung,
jika tidak dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini
merupakan zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam
Ahmad)rahimahumullah.” (Ibid)
Disebutkan dalam riwayat
lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)
Sementara dalam Kasysyaf
Al Qina’ disebutkan:
قَالَ أَحْمَدُ فِي
رِوَايَةِ حَنْبَلٍ : جَرُّ الْإِزَارِ ، وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ،
إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ( مَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ عَلَى
النِّسَاءِ ) فَإِنَّهُ مِنْ الْفُحْشِ .
` “Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal:
Menjulurkan kain sarung, dan memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat,
jika tidak ada maksud sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai
wanita), jika demikian maka itu berbuatan keji.” (Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina’, 2/ 304. Mawqi’
Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin Nuha, 2/363. Mawqi’
Al Islam Lihat juga Imam Ibnu Taimiyah, Syarhul ‘Umdah, Hal. 361.
Cet. 1, 1998M-1428H. Darul ‘Ashimah, Riyadh. KSA. )
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Masih dalam Al Adab Asy Syar’iyyah:
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ
تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ
لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
“Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu
Taimiyah) memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai
perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya.” (Ibid)
Beliau berkata dalam kitab Syarhul
‘Umdah:
فأما أن كان على غير
وجه الخيلاء بل كان على علة أو حاجة أو لم يقصد الخيلاء والتزين بطول الثوب ولا
غير ذلك فعنه أنه لا بأس به وهو اختيار القاضي وغيره
Ada pun jika memakainya
tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab atau hajat (kebutuhan), atau
tidak bermaksud sombong dan menghias dengan cara memanjangkan pakaian, dan
tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa. Ini juga pendapat yang dipilih
oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,Syarhul
‘Umdah, Hal. 361)
Imam Syarfuddin Musa Al
Hijawi Rahimahullah
Beliau ulama bermadzhab
Hambali, berkata dalam kitab Al Iqna’:
فَإِنْ أَسْبَلَ
ثَوْبَهُ لِحَاجَةٍ كَسَتْرِ سَاقٍ قَبِيحٍ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ أُبِيحَ
“Maka, sesungguhnya
menjulurkan pakaian karena ada kebutuhan seperti menutupi betis yang buruk,
tanpa adanya sombong, maka itu mubah (boleh).” (Al Iqna’ fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hambal, 1/91. Darul Ma’rifah, Beirut, Libanon)
Imam Abul Hasan Al Maliki Rahimahullah
Beliau
ulama bermadzhab Maliki, penyusun kitab Kifayatuth Thaalib. Berkata
Imam Ali bin Ahmad Ash Sha’idi Al ‘Adawi Rahimahullah dalam Hasyiyah-nya
terhadap Kifayatuth Thalib:
ثُمَّ أَقُولُ :
وَعِبَارَةُ الْمُصَنِّفِ تَقْتَضِي أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجُرَّ
ثَوْبَهُ أَوْ إزَارَهُ إذَا لَمْ يَقْصِدْ بِذَلِكَ كِبْرًا أَوْ عُجْبًا
Kemudian
saya katakan: perkataan Al Mushannif (penyusun kitab Kifayatutj
Thalib, pen) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya
atau kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau‘ujub. (Hasyiyah
Al ‘Adawi, 8/111. Mawqi’ Al Islam)
B. Kelompok
yang Memakruhkan
Kelompok ini adalah
kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang sama dengan kelompok yang
membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi oleh khuyala (sombong).
Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika tanpa sombong, mereka
menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula sampai haram.
Disebutkan dalam Al
Mausu’ah:
وَاخْتَلَفُوا فِي
إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ
اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ : فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ
التَّنْزِيهِيَّةِ
Mereka berbeda pendapat
dalam hal memanjangkannya sampai melewati dua mata kaki dengan tanpa sombong
dan tanpa kebutuhan: madzhab jumhur (mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh
tanzih. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/170)
Para fuqaha Islam
menyebutkan bahwa hukum makruh ada dua macam, yakni Makruh Tanzih dan Makruh
Tahrim. Makruh Tanzih adalah makruh ynag mendekati mubah (boleh). Makruh
Tahrim adalah makruh yang medekati haram.
Imam Asy Syafi’i dan Imam An Nawawi Rahimahumallah
Dalam Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi
berkata:
وَأَنَّهُ لَا يَجُوز
إِسْبَاله تَحْت الْكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ
لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوه ، وَظَوَاهِر الْأَحَادِيث فِي تَقْيِيدهَا
بِالْجَرِّ خُيَلَاء تَدُلّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيم مَخْصُوص بِالْخُيَلَاءِ
“Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika
sombong, jika tidak sombong maka makruh (dibenci). Secara
zhahir hadits-hadits yang ada memiliki pembatasan (taqyid) jika
menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan bahwa pengharaman hanya khusus bagi
yang sombong.” (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim,Kitab
Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz.
7, Hal. 168, No hadits. 3887.
Mawqi’ Ruh Al Islam)
Dalam kitab lainnya:
وَقَالَ النَّوَوِيّ :
الْإِسْبَال تَحْت الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا
فَهُوَ مَكْرُوه ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيّ عَلَى الْفَرْق بَيْن
الْجَرّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاء ، قَالَ : وَالْمُسْتَحَبّ أَنْ
يَكُون الْإِزَار إِلَى نِصْف السَّاق ، وَالْجَائِز بِلَا كَرَاهَة مَا تَحْته
إِلَى الْكَعْبَيْنِ ، وَمَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوع مَنْع تَحْرِيم
إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْع تَنْزِيه ، لِأَنَّ الْأَحَادِيث الْوَارِدَة
فِي الزَّجْر عَنْ الْإِسْبَال مُطْلَقَة فَيَجِب تَقْيِيدهَا بِالْإِسْبَالِ
لِلْخُيَلَاءِ اِنْتَهَى
Berkata An Nawawi: “Isbal dibawah mata kaki dengan
sombong (haram hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh.
Demikian itu merupakan pendapat Asy Syafi’i tentang perbedaan antara
menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata:
Disukai memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa
dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki
adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong
maka itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang
menyebutkan dosa besar bagi pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka
wajib mentaqyidkan (mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang
dimaksud jika disertai khuyala (sombong). Selesai.” (Imam
Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra
Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus
Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’,
Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah Mushtafa Al Baabi Al Halabi.
Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar
Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah )
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi juga
membuat bab khusus (yakni Bab ke 119) tentang masalah ini berjudul:
باب صفة طول القميص
والكُم والإزار وطرف العمامة وتحريم إسبال شيء من ذلك على سبيل الخيلاء
وكراهته من غير خيلاء
“Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung,
dan Ujung Sorban, dan haramnya isbal (memanjangkan) hal
tersebut karena sombong, dan makruh jika tidak sombong.” (Imam
An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 257. Cet. 3, 1998H-1419H. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al
Arnauth Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah
Dalam kitab Sunan-nya
Beliau menulis Bab: Maa Ja’a fi Karahiyati jaaril Izaar (Bab
Tentang riwayat dimakruhkannya menjulurkan kain sarung)
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah
Beliau berkata –sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar- sebagai
berikut:
قَالَ اِبْن عَبْد
الْبَرّ : مَفْهُومه أَنَّ الْجَرّ لِغَيْرِ الْخُيَلَاء لَا يَلْحَقهُ الْوَعِيد
، إِلَّا أَنَّ جَرّ الْقَمِيص وَغَيْره مِنْ الثِّيَاب مَذْمُوم عَلَى كُلّ حَال .
Ibnu Abdil Barr berkata: “Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan
karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja
memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala
keadaan.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man
Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263.
Darul Fikr. Lihat juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’
Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158.
Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar
Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah
Beliau berkata:
قَالَ الْقَاضِي :
قَالَ الْعُلَمَاء : وَبِالْجُمْلَةِ يُكْرَه كُلّ مَا زَادَ عَلَى الْحَاجَة
وَالْمُعْتَاد فِي اللِّبَاس مِنْ الطُّول وَالسَّعَة . وَاللَّهُ أَعْلَم .
Berkata para ulama: “Secara global (umumnya) dimakruhkan setiap
hal yang melebihi dari kebutuhan dan berlebihan dalam pakaian, baik berupa
panjangnya dan lebarnya. Wallahu A’lam.” (Al Minhaj Syarh ShahihMuslim, Kitab
Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz …, Juz.
7, Hal. 168)
Imam
Az Zarqani menyebutkan:
وَفِي الْمَوَاهِبِ :
مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي تَحْرِيمِهِ ،
وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ ، مَا لَمْ يَصِل
إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ . وَنَقَل الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنِ
الْعُلَمَاءِ كَرَاهَةَ كُل مَا زَادَ عَلَى الْعَادَةِ فِي اللِّبَاسِ لِمِثْل
لاَبِسِهِ فِي الطُّول وَالسِّعَةِ
Disebutkan dalam Al
Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan dengan cara sombong
maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang dilakukan karena itu adalah hal
yang telah menjadi adat maka tidak haram, selama tidak sampai menjulurkan ujung
yang dilarang. Al Qadhi ‘Iyadh menukil dari para ulama bahwa dimakruhkan setiap
tambahan yang melebihi kebiasaan dalam pakaian, semisal pakaian yang melebihi
dalam panjang dan lebarnya. (Imam Az Zarqani, Syarh ‘Ala Al
Muwaththa, 1/273)
Jadi,
makruhnya itu adalah jika ‘lebih’ dan ‘tambahan’ itu diluar kebiasaan yang
terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim, umat
Islam terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini juga
telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud, dan makruh jika melewati
kebiasaan itu.
Namun ada pula yang
mengatakan bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah kebiasaan yang terjadi
masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,bukan selainnya.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
Beliau berkata:
وَيُكْرَهُ إسْبَالُ
الْقَمِيصِ وَالْإِزَارِ وَالسَّرَاوِيلِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الْإِزَارِ . فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى
وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ
“Dimakruhkan isbal (memanjangkan)
gamis (baju kurung), kain sarung, dan celana panjang, karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan menaikannya. Tetapi jika isbal dengan
sombong maka haram.” (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, Al
Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash Shalah, Juz. 3, Hal. 21)
Imam Abul Hasan Muhammad
bin Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah
Beliau berkata ketika
menjelaskan makna hadits, “tidak ada hak bagi kain terhadap dua mata
kaki”:
أَيْ لَا تَسْتُر
الْكَعْبَيْنِ بِالْإِزَارِ وَالظَّاهِر أَنَّ هَذَا هُوَ التَّحْدِيد وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ هَذَا خُيَلَاء نَعَمْ إِذَا اِنْضَمَّ أَسْفَل عَنْ هَذَا الْمَوْضِع
بِالْخُيَلَاءِ اِشْتَدَّ الْأَمْر وَبِدُونِهِ الْأَمْر أَخَفّ .
“Yaitu kedua mata kaki tidak boleh tertutup
dengan kain, dan zahirnya kalimat ini merupakan pembatasan, jika melakukannya
dengan tidak sombong. Ya, jika sampai lebih bawah dari tempatnya (mata kaki)
dengan sombong maka perintah menaikannya lebih keras, dan jika tidak dengan
sombong maka perintahnya lebih ringan.” (Imam Abul Hasan as Sindi, Syarh
Sunan An Nasa’i, Kitab Az Zinah Bab Maudhi’ al Izar, Juz. 7, Hal. 68, No
hadits. 5234. Lihat juga Hasyiah As Sindi ‘Ala Ibni Majah, Kitab Al
Libas bab Maudhi’ al Izar Aina Huwa, Juz. 6, Hal. 493, No hadits. 3562.)
Dalam Fatawa Al Hindiyah tertulis:
إسْبَالُ الرَّجُلِ
إزَارَهُ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ
كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ ، كَذَا فِي الْغَرَائِبِ .
“Isbal-nya kain seorang laki-laki di
bawah mata kaki, jika dia tidak
sombong, maka hukumnya makruh tanzih demikian di sebut dalam Al
Gharaib.” (Fatawa Al Hindiyah, Juz. 43, Hal. 183)
Memanjangkan pakain pada
shalat hingga melebihi mata kaki, bahkan menyentuh tanah adalah makruh menurut
mayoritas ulama. Tersebut dalam Al Mausu’ah:
فَإِسْدَال الثَّوْبِ
فِي الصَّلاَةِ - بِمَعْنَى إِرْسَالِهِ مِنْ غَيْرِ لُبْسٍ - مَكْرُوهٌ عِنْدَ
جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ مُطْلَقًا ، سَوَاءٌ أَكَانَ لِلْخُيَلاَءِ ، أَمْ
لِغَيْرِهَا
Maka, menjulurkan pakaian
dalam shalat –dengan makna dijulurkan begitu saja tanpa dipakai- adalah makruh
menurut mayoritas ahli fiqih secara mutlak, sama saja baik yang dengan sombong
atau tidak. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 3/144)
Ada pun memanjangkan izar (kain)
dengan sombong maka itu haram, mereka membedakan hukumnya dengan memanjangkan tsaub (pakaian). (Ibid)
C. Kelompok Ulama yang Mengharamkan
Kelompok ini berpendapat
bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau tidak, dan dengan sombong
keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap
haram dan Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil).
Kelompok ini memahaminya sesuai zahirnya hadits.
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah
Dahulu saya mengira beliau hanya
memakruhkan, yaitu ketika saya membaca bagian berikut ini:
وَفِي هَذِهِ
الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة ، وَأَمَّا
الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا ،
لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى
أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى
الْمُقَيَّد هُنَا ، فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ
الْخُيَلَاء .
“Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjulurkan kain sarung
dengan sombong adalah dosa besar, sedangkan jika tidak dengan sombong menurut
zhahir hadits adalah haram juga. Tetapi hadits-hadits yang ada menunjukkan
harus dibatasi dengan khuyala(kesombongan) lantaran hadits-hadits
yang menyebutkan ancaman dan celaan isbal masih bersifat
mutlak (umum), maka dari itu yang umum harus dibatasi di sini. Maka, tidak
haram menjulurkan pakaian jika selamat dari rasa sombong.” (Ibid)
Ternyata jika kita baca secara
utuh, tulisan di atas belum selesai, Imam Ibnu Hajar hanya sedang memaparkan
berbagai pendapat dan alasannya. Adapun pendapatnya sendiri ternyata dia juga
mengharamkan baik dengan sombong atau tidak sombong. Berikut ini ucapannya:
وَحَاصِله أَنَّ
الْإِسْبَال يَسْتَلْزِم جَرّ الثَّوْب وَجَرّ الثَّوْب يَسْتَلْزِم الْخُيَلَاء
وَلَوْ لَمْ يَقْصِد اللَّابِس الْخُيَلَاء ، وَيُؤَيِّدهُ مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَد
بْن مَنِيع مِنْ وَجْه آخَر عَنْ اِبْن عُمَر فِي أَثْنَاء حَدِيث رَفَعَهُ "
وَإِيَّاكَ وَجَرّ الْإِزَار فَإِنَّ جَرّ الْإِزَار مِنْ الْمَخِيلَة "
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيث أَبِي أُمَامَةَ " بَيْنَمَا نَحْنُ
مَعَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ لَحِقَنَا عَمْرو بْن
زُرَارَةَ الْأَنْصَارِيّ فِي حُلَّة إِزَار وَرِدَاء قَدْ أَسْبَلَ ، فَجَعَلَ
رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذ بِنَاحِيَةِ ثَوْبه
وَيَتَوَاضَع لِلَّهِ وَيَقُول : عَبْدك وَابْن عَبْدك وَأَمَتك ، حَتَّى
سَمِعَهَا عَمْرو فَقَالَ : يَا رَسُول اللَّه إِنِّي حَمْش السَّاقَيْنِ ،
فَقَالَ : يَا عَمْرو إِنَّ اللَّه قَدْ أَحْسَنَ كُلّ شَيْء خَلَقَهُ ، يَا
عَمْرو إِنَّ اللَّه لَا يُحِبّ الْمُسْبِل " الْحَدِيث
Kesimpulannya, isbal itu melazimkan terjadinya
menjulurnya pakaian, dan menjulurkan pakaian melazimkan terjadinya
kesombongan, walau pun pemakainya tidak bermaksud sombong. Hal ini
dikuatkan oleh riwayat Ahmad bin Mani’ dari jalur lain Ibnu Umar yang dia marfu’kan:
“Jauhilah oleh kalian menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya menjulurkan
kain sarung merupakan kesombongan (al makhilah).” Ath Thabarani
meriwayatkan dari Abu Umamah, “Ketika kami bersama RasulullahShallallahu
‘Alaihi wa Sallam, kami berjumpa dengan Amru bin Zurarah al Anshari yang
mengenakan mantel secara isbal, maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengambil bagian tepi pakaiannya merendahkan dirinya
kepada Allah, lalu berdoa: “Ya Allah hambaMu, anak hambaMu, anak hambaMu yang
perempuan. (bisa juga bermakna “Demi Allah“), sampai akhirnya Amru mendengarkan
itu, lalu dia berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya aku merapatkan kedua betisku
(maksudnya jalannya tidak dibuat-buat, pen).” Maka nabi bersabda:
“Wahau Amru, sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan
sebaik-baiknya, wahai Amru sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang musbil.” (Ibid. Lihat
juga Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, Kitab Al Jami’ Bab Laa
Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala’, Juz. 4, Hal. 158 )
Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi Rahimahullah
Sebagian kalangan Malikiyah ada
yang mengharamkan di antaranya adalah Imam Ibnul ‘Arabi, berikut perkataannya:
قَالَ ابْنُ
الْعَرَبِيِّ : لَا يَجُوزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يُجَاوِزَ بِثَوْبِهِ كَعْبَهُ
وَيَقُولُ : لَا أَجُرُّهُ خُيَلَاءَ ، لِأَنَّ النَّهْيَ قَدْ تَنَاوَلَهُ
لَفْظًا وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ تَنَاوَلَهُ لَفْظًا أَنْ يُخَالِفَهُ إذْ صَارَ
حُكْمُهُ أَنْ يَقُولَ : لَا أَمْتَثِلُهُ ، لِأَنَّ تِلْكَ الْعِلَّةَ لَيْسَتْ
فِي . فَإِنَّهَا دَعْوَى غَيْرَ مُسَلَّمَةٍ ، بَلْ إطَالَةُ ذَيْلِهِ دَالَّةٌ
عَلَى تَكَبُّرِهِ انْتَهَى .
Ibnul ‘Arabi berkata: “Tidak boleh bagi seorang laki-laki
membiarkan pakaiannya hingga mata kakinya lalu berkata: “Saya menjulurkannya
dengan tidak sombong.” Karena secara lafaz, sesungguhnya larangan tersebut
telah mencukupi, dan tidak boleh juga lafaz yang telah memadai itu ada yang
menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: “Tidak ada perintahnya,” karena ‘illat(alasannya)
itu tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak benar, bahkan
memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan kesombongan sendiri. Selesai.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab
Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 16, Hal. 336, No
hadits. 5354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al
Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil …, Juz. 2, Hal. 114. Maktabah Ad Da’wah)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz Rahimahullah
Beliau
berkata dalam fatwanya::
والأحاديث في هذا
المعنى كثيرة ، وهي تدل على تحريم الإسبال مطلقا ، ولو زعم صاحبه أنه لم يرد
التكبر والخيلاء ؛ لأن ذلك وسيلة للتكبر ، ولما في ذلك من الإسراف وتعريض الملابس
للنجاسات والأوساخ ، أما إن قصد بذلك التكبر فالأمر أشد والإثم أكبر
Banyak hadits-hadits yang semakna
dengan ini, yang menunjukkan haramnya isbal secara mutlak,
walaupun pemakainya mengira bahwa dia tidak bermaksud untuk sombong, karena hal
itu menjadi sarana menuju kepada kesombongan, selain memang hal itu merupakan israf (berlebihan),
dapat mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya
dengan maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar. (Majalah
Al Buhuts Al islamiyah, 33/113)
Bukan
hanya mereka, Imam Adz Dzahabi (bermadzhab Syafi’iyyah) dan Imam Al Qarrafi
(bermadzhab Malikiyah) juga mengharamkan.
Untuk zaman ini, para
ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Al
Qaradhawy tidak mengharamkan isbal kecuali dengan sombong,
begitu pula umumnya para ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain. Sementara
yang mengharamkan seperti Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, para ulama Lajnah Da’imah,
sebagian ulama Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.
Bahkan Syaikh Ibnu Al
‘Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah maksiat dan shalatnya tidak
sah. Katanya:
وأما المحرَّم لوصفه:
فكالثوب الذي فيه إسبال، فهذا رَجُل عليه ثوب مباح من قُطْنٍ، ولكنَّه أنزله إلى
أسفلَ من الكعبين، فنقول: إن هذا محرَّم لوَصْفه؛ فلا تصحُّ الصَّلاة فيه؛ لأنه
غير مأذونٍ فيه، وهو عاصٍ بِلُبْسه، فيبطل حُكمه شرعاً، ومن عَمِلَ عملاً ليس عليه
أمرُنا فهو رَدٌّ.
Ada pun hal yang diharamkan
menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang menjulur, dia adalah seorang yang
memakai pakaian katun yang mubah, tetapi dia menurunkannya sampai melewati dua
mata kaki. Maka kami katakan: ini adalah diharamkan menurut sifatnya, dan tidak
sah shalatnya, karena itu tidak diizinkan, dan termasuk maksiat dengan
pakaiannya itu, dan secara syar’i hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang
beramal yang bukan termasuk perintah kami maka itu tertolak. (Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 2/154. Cet. 1,
1422-1428H. Dar Ibnu Al Jauzi)
Demikianlah
masalah ini.
Silahkan
kita menjalankan apa yang menjadi keyakinan adalah benar, tanpa ada sikap
pengingkaran terhadap yang lain. Semoga Allah Ta’ala memberikan pahala dan
dinilai sebagai upaya taqarrub bagi siapa saja yang menaikkan
pakaiannya di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa harus diiringi sikap
merasa paling benar, keras, dan justru sombong karena merasa sudah menjalankan
sunah.
Ada akhlak para salafus shalih dan para imam yang harus kita
renungi bersama, sebagai berikut:
Imam Abu Nu’aim mengutip
ucapan Imam Sufyan ats Tsauri Rahimahullah, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول:
إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat
seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya
pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu
Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’, Juz. 3, hal. 133. )
Berkata Imam
An Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق
بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره
، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا
أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى
أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد
كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر
الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع
عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait
masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka
tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari
dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih
diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua
sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah
mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan
bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan
dia telah terangkat dosanya.” (Al
Minhaj Syarh Muslim, Juz 1, hal. 131,
pembahasan hadits no. 70, ‘Man Ra’a minkum munkaran …..’. )
Imam As
Suyuthi Rahimahullah berkata dalam kitab Al Asybah wa
An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ
الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ " لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ،
وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak
boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan.
Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan
ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah
wa An Nazhair, 1/285 )
Berkata Syaikh
Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
لقد كان الخلاف موجودًا
في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري
والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في
علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .
“Telah
ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah,
Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu
pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau
melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran
perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. )
Beliau juga berkata:
فالاجتهاد إذا كان
وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ،
ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة
.
“Ijtihad itu, jika
dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep
penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka
wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang
mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor)
mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan
terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal
Qawaid al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ al Islam. )
Imam Adz
Dzahabi Rahimahullah berkata:
قال ابن الجنيد: وسمعت
يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث
صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.
Berkata Ibnu Al Junaid:
“Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air
perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no coment, dan aku tidak
mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan
hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya
dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar
A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Cet.9, 1993M-1413H. Mu’asasah Ar Risalah, Beirut-Libanon. )
Demikian. Wallahu
A’lam
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload