Gusti Allah tidak 'Ndeso'
8/20/2015
Suatu kali Emha Ainun
Nadjib ditodong dengan pertanyaan beruntun. "Cak Nun,"
kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga
pilihan, yang harus dipilih salah satu:
1.
Pergi ke masjid untuk
shalat Jumat.
2.
Mengantar pacar berenang.
3.
Atau mengantar tukang
becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari.
Mana yang
sampeyan pilih ?"
Cak Nun
menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan... !!"
"Tapi
sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang ?" kejar si penanya. "Ah,
mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau
saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak,
" katanya lagi.
"Dan
lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai
credit point pribadi. Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.
Kata
Tuhan: Kalau engkau menolong orang sakit, Aku-lah yang sakit itu. Kalau engkau
menegur orang yang kesepian, Aku-lah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi
makan orang kelaparan, Aku-lah yang kelaparan itu.
Kriteria
kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Shalat memang wajib
tapi untuk Allah (tidak dipamerkan kepada orang lain). Tolok ukur kesalehan
hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta
kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya,
orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut
kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan
berkasih sayang. Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah
sikap. Agama mengajarkan pada kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita
cuma puasa, shalat, baca al-Quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke
pura. Menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi,
bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, memberi
makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran
keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan hanya dari kesalehan personalnya,
melainkan juga kesalehan sosial.
Orang
beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama
ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya
solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum
tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena
itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan
orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter
darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan... !"
By: Emha
Ainun Najib
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload