NU, Indoensia, dan Palestina
7/27/2015
Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW
belum lama berlalu. Meskipun peristiwa Isra Miraj diperingati di Indonesia
secara khusus, namun pesan mendalam dari peristiwa tersebut hendaknya tak
menguap seiring berlalunya waktu. Selain tentang mukjizat, dan salat, Isra
Miraj juga mengungkapkan betapa istimewanya kedudukan Masjid Al Aqsa dalam
Islam. Namun keistimewaan itu tidak sejalan dengan nasibnya saat ini. Di tengah
penjajahan Israel atas tanah Palestina, Al Aqsa tampaknya tengah dijauhkan dari
umat Islam. Termasuk kebijakan Israel yang tidak membebaskan umat Islam untuk
beribadah di sana.
Isra Miraj yang diperingati di Indonesia mengingatkan
kita agar tetap peduli dengan nasib rakyat Palestina dan khususnya Masjid Al
Aqsa. Kepedulian ini bukanlah hal yang baru bagi bangsa kita. Bahkan sejak
bangsa ini belum merdeka dari penjajahan, rakyat Indonesia bersama tokoh-tokoh
Islam telah menunjukkan solidaritas mereka. Persaudaraan yang membentang
melintas lautan tak melunturkan kepedulian para pendahulu kita. Meskipun dengan penuh keterbatasan, namun
persoalan penderitaan rakyat Palestina yang terusir serta teraniaya
diketengahakan kepada umat Islam di Indonesia , baik oleh para ulama maupun
tokoh pemuda –pemuda Islam di masa silam.
Solidaritas kepada Palestina ditunjukkan
dengan sangat gigih oleh Nadhlatul Ulama. Hoofd Bestuur (Pengurus Besar) NU,
pada tahun 1938 mengedarkan seruan kepada berbagai ormas dan Partai Islam
seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, PSII dan lainnya. PBNU mennyerukan kepada
ormas dan partai Islam untuk bersikap tegas atas apa yang dilakukan bangsa
Yahudi dan bahu membahu membantu rakyat Palestina dalam memperjuangkan agama
dan kemerdekaan mereka dari kaum Zionis penjajah. PBNU menyerukan pula agar
diadakannya Palestine Fonds (Dana Palestina). Bahkan cabang-cabang NU di
seluruh Indonesia diinstruksikan untuk menjadikan tanggal 27 Rajab sebagai
‘Pekan Rajabiyah.’ Sebuah pekan yang menggabungkan perayaan Isra Miraj dengan
solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina merdeka. PBNU pun menyerukan
kepada seluruh anggota NU dan umat Islam untuk melakukan Qunut Nazilah pada
setiap salat fardhu.
Atas seruan ini, pemerintah kolonial
bereaksi keras. Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) memanggil KH Mahfudz Shiddiq, selaku ketua PBNU. Hoofd
Parket melarang Qunut Nazilah dan ‘Pekan Rajabiyah.’ Ulama besar KH Hasyim
Asy’ari, kemudian merespon reaksi pemerintah kolonial. Pada Mukatamar ke -14
Nadhlatul Ulama di tahun 1939, saat memberikan khotbah iftitah (pidato
pembukaan), beliau mengungkapkan bahwa doa tersebut bukan untuk menghina
golongan lain, seperti yang dituduhkan, namun,
semata-mata sebuah kewajiban solidaritas sesama umat Islam dan perintah
Nabi Besar Muhammad SAW, kepada umatnya setiap menghadapi bencana. Hadlratus
Syaikh ketika itu dalam bahasa Arab mengemukakan,
“Tetapi para pembesar pemerintah
meilhatnya tidak seperti yang dilihat Nadhlatul Ulama, sebab itu, melarang kita
mengerjakan hal-hal yang telah lalu, yang telah kita lewati selama ini.” (K.H.
Saifuddin Zuhri; 2013)
Pembelaan tidak saja datang dari kalangan
ulama, namun juga dari para pemuda Islam yang tergabung dalam Jong Islamieten
Bond (JIB). Kelompok pemuda yang digerakkan tokoh-tokoh seperti M. Natsir,
Kasman Singodimedjo, Samsurizal dan lain-lain ini, melakukan pembelaan terhadap
Palestina. Bekerja sama dengan Jamiat Al Khair di Mesir, mereka mendukung
perjuangan rakyat Palestina, dan menolak tembok ratapan yang berada di dekat Al
Aqsa. Mereka melihat hal ini merupakan sebuah ancaman terhadap Masjid Al Aqsa
(Dardiri Husni; 1998). Tahun 1941, salah seorang tokoh JIB, M. Natsir kembali
mengemukakan kepedulian terhadap penderitaan rakyat Palestina yang tak kunjung
selesai. Ia mengkritik cacatnya perjanjian Balfour.
“Djanji Balfour tidak memberi penjelesaian;
ia hanja menimbulkan soal, jang berkehendak kepada penjelasan. Lebih-lebih
disaat ini, di saat berbagai basa jang beragama Islam turut berdjuang disamping
Negara Serikat, di saat blok bangsa Arab penuh Simpati terhadap pihak serikat-,
sungguh bukan suatu perbuatan bidjaksana, apabila orang merajakan 24 tahun
lahirnja ‘Balfour Declaration’, jang oleh milliunan bangsa-bangsa jang beragama
Islam terasa sebagai duri dalam daging itu.” (M. Natsir ; 1954)
Gencarnya dukungan para ulama serta
tokoh-tokoh Islam sejak lama, memberikan kesan yang begitu nyata. Bagi umat
Islam di Palestina, meskipun dukungan tersebut terpisah sangat jauh, namun
rupanya hal ini membuat mereka merasakan pula penderitaan rakyat Indonesia yang
terjajah sekian lama. Maka ketika tersiar Mufti Besar Palestina, Amin Al
Husaini, mengucapkan selamat atas ‘pengakuan Jepang’, untuk kemerdekaan
Indonesia, hal ini turut menjadi dukungan bagi perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Berita yang disiarkan radio Berlin berbahasa Arab tersebut,
disebarluaskan oleh para mahasiswa Indonesia di Kairo untuk menggelorakan
perjuangan kemerdekaan Indonesia, sehingga kabar tersebut dimuat berbagai media
di Mesir. (M. Zein Al Hassan; 1980)
Hubungan saling mendukung ini terus
berlanjut, melintasi waktu. Bahkan setelah Indonesia merdeka, pemerintah
Indonesia secara khusus mendukung eksistensi Masjid Al Aqsa. Tahun 1965,
Presiden Sukarno, kala itu melalui perantara menteri agama, KH Saifuddin Zuhri,
turut membantu pemugaran Masjid Al Aqsa. Indonesia menyumbang $ 18.000 yang
disampaikan kepada Menteri Urusan Waqaf Kerajaan Yordania. (K.H. Saifuddin Zuhri,; 2013).
Bangsa Indonesia sejatinya memang menolak
segala bentuk penjajahan, bahkan ketika dirinya masih dalam keterbatasan akibat
penjajahan. Penolakan atas segala macam penjajahan yang dilandasi ukhuwah Islam
mampu menjadi daya dorong yang luar biasa. Kepedulian ulama serta tokoh-tokoh
Islam, meskipun dirintangi kebijakan kolonial, mampu mengatasi jarak yang
membentang hingga ke timur tengah. Berkaca dari sejarah para pendahulu kita
dimasa silam, dukungan terhadap rakyat Palestina, seharusnya menjadi semakin
kuat dan gencar. Jika di masa lalu saja, dengan segala keterbatasan, bangsa ini
mampu memberikan dukungan yang membuat penguasa kolonial resah, apalagi dimasa
kini, saat kita sudah mengecap nikmatnya kemerdekaan.
Fatwa ulama dan langkah ormas Islam tak
disangkal mampu menggerakkan masyarakat. Yang dibutuhkan kembali saat ini
adalah kebijakan yang mampu menyentuh masyarakat, contohnya, semacam Pekan
Rajabiyah ala NU dahulu, sehingga perayaan semacam Isra Miraj tak lagi sekedar
peringatan belaka, namun mampu memberikan langkah nyata bagi rakyat Palestina
yang mengayun bersama derap masyarakat kita.
Daftar Pustaka
Hassan, M. Zein. 1980.
Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Bulan Bintang : Jakarta
Husni, Dardiri. 1998. Jong
Islamieten Bond : A Study of A Moslem Youth In Indonesia During The Colonial
Era (1924-1942). Tesis M.A. Montreal Canada : McGill University
Natsir, M. 1954. Djublium
Balfour-Mac Mahon..! dalam Capita Selecta. W. Van Hoeve : Bandung
Zuhri, KH Saifuddin. 2013.
Berangkat dari Pesantren. LKiS : Yogyakarta.
___
Oleh
: Beggy Rizkiyansyah (Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload