Persamaan dan Perbedaan Nasakh dan Takhsis
6/18/2015
Pembaca Pustama
Hal yang kadang menimbulkan kesalahpahaman adalah karena faktor kemiripan. Bagi orang yang bergelut dalam ilmu, khususnya ilmu ushul fikih pasti pernah mendengar lafal Nasikh dan Takhsis. Kadang kedua kata ini dipahami sama, namun di lain waktu dipahami berbeda. Oleh karena itu kebutuhan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara keduanya tentu sangat urgen.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Nasakh adalah
mencabut atau menghilangkan suatu ketentuan hukum syarak, lalu menggantikannya
dengan ketentuan hukum baru. Sementara, takhshish itu pada
prinsipnya hanya sekedar membatasi keumuman lafal. Namun demikian, antara Nasakh dan takhshish
acapkali terjadi kekaburan, tatkala Nasakh dipahami sebagai pengkhususan
suatu ketentuan hukum. Bagitu pula takhshish, ketika dimaksudkan
pada penganuliran sebagian ketentuan hukum dari seluruh satuan pengertiannya (afrad).
Berikut persamaan dan perbedaan antara Nasikh dan Mansukh.
A.
Persamaan Nasakh dengan takhshish.
Diantara persamaan Nasakh dengan takhshish adalah:
1.
Baik Nasakh atau takhshish sama-sama
membatasi ketentuan hukum tersebut.
Kalau Nasakh membatasi ketentuan hukum dengan batasan
waktu, sedang takhshish dengan batasan materi.
Misalnya, dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah sebelum
menghdap Rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu
dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut: “Kalau
akan menghadap Rasul itu, harus memberikan sedekah dulu, kecuali setelah turun
ayat yang meniadakan kewajiban itu”. Ungkapan itu sepertinya hampir sama
dengan kalimat: “Wanita yang ditalak suaminya itu wajib beriddah tiga kali
suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”.
Oleh karena tampak adanya kesamaan antara keduanya itu
sah-sah saja, maka ada perbedaan pemahaman diantara para ulama. Ada sebagian
ulama yang mengakui ada dan terjadinya Nasakh itu, dan ada
pula yang mengingkarinya, dan menganggap Nasakh itu adalah
sama saja dengan takhshish.
2.
Nasakh sama dengan takhshish dalam
hal sama-sama membatasi berlakunya sesuatu ketentuan hukum syarak.
Nasakh menghapus dan menganti ketentuan hukum-hukum syarak,
sedang takhshish membatasi keumuman jangkauan hukum syarak.
3.
Dalil yang me-nasakh sama dengan
dalil yang men-takhshish.
Baik nasakh ataupun takhsis, dalil yang digunakan adalah sama
yaitu berupa dalil syarak.
B. Perbedaan Nasakh dengan takhshish.
Perbedaan Nasakh dengan takhshish secara
terperinci adalah sebagai berikut:
1.
Lafal `Am (umum)
setelah di-takhshish atau dibatasi, akan menjadi samar
jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum. Namun jangkauannya sudah
terbatas, sehingga sudah tidak bisa diketahui secara pasti lagi; apa saja yang
masih dijangkau oleh lafal yang telah di takhshish itu.
Sementara, teks dalil yang telah di-mansukh itu sudah tidak berlaku
lagi, sehingga jangkauannya jelas sudah terhenti. Sebab, tujuan dari lafal yang
me-nasakh itu sesuai dengan kehendak Allah swt, bahwa berlakunya
jangkauan lafal yang di-mansukh itu hanya terbatas sampai kepada
waktu yang telah ditentukan, menskipun bunyi teksnya bisa menjangkau sepanjang
masa.
Contohnya, seperti ketentuan wajib memberikan sedekah kepada
fakir miskin, jika akan menghadap atau bertanya kepada Rasulullah saw.
Sebagaimana dalam ayat 12 surat al-Mujadalah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ
الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beiman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus denga Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (kepada
fakir miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan),
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang“.[1]
Setelah situasi berubah, karena banyak Sahabat yang sebetulnya
perlu bertanya kepada beliau, tetapi karena tidak mempunyai dana untuk
bersedekah, lalu tidak jadi menghadap / bertanya. Lalu turunlah ayat 13 surat
al-Mujadalah yang menghapuskan kewajiban bersedekah tersebut, dan diganti
dengan ketentuan baru, yaitu boleh saja mengahadap atau bertanya kepada beliau,
walau belum / tidak bersedekah lebih dahulu. Ayat tersebut adalah :
أَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ
صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ
بِمَا تَعْمَلُونَ
“Apakah kalian takut (menjadi miskin) karena kalian memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka, jika kalian tidak
memeperbuatnya dan Allah memberi tobat kepadamu, mak dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat dan taatlah kekpada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kalian kerjakan“. [2]
Jadi ketentuan ayat 12 surat al-Mujadalah itu sudah tidak
berlaku lagi, setelah datangnya ketentuan baru dari ayat 13 surat
al-Mujadalah yang menghapuskan ketentuannya.
2.
Ketentuan hukum yang
dikecualikan dengan takhshish sudah sejak semula memang
tidak dikehendaki sama sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapuskan dengan Nasakh,
mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi
setelah ada perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukum
tersebut dihapuskan dan tidak diberlakukan lagi.
3.
Nasakh itu
membatalkan kehujjahan hukum yang di-mansukh, sedangkan takhshish tidak
membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja. Sedang ketentuan
hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan tersebut.
4.
Nasakh itu tidak
bisa terjadi kecuali dalam al-Qur`an dan Sunnah, sedangkan takhshish
bisa saja terjadi dalam al-Qur`an dan Sunnah ataupun dalam hukum lain di luar
al-Qur`an dan Sunah. [3]
Al-Zarqany menambahkan penjelasan mengenai perbedaan Nasakh
dengan takhshish, yaitu dalil yang me-nasakh, harus datang
secara terpisah dan terkemudian dari dalil terdahulu. Sementara dalil yang men-takhshish dalil
umum dapat datang secara terdahulu, bersamaan dan terkemudian. Bahkan, ada
sebgaian kelompok ulama berpendapat bahwa dalil yang men-takhshish harus
datang secara berbarengan. Kalau tidak, maka hal itu bukan takhshish,
melainkan dalil yang me-nasakh kepada lafal umum.[4]
Bahkan al-Amidi, mengemukakan perbedaan Nasakh dengan takhshish
menjadi sepuluh (10) bagian, meskipun diantara keterangannya juga memiliki kesepahaman
dengan ulama yang lain. Sebagaimana dikutip oleh DR. Musthafa Said al-Khin.
Diantara penjelasannya yang tidak disebutkan di atas antara lain:
a.
Bahwa Nasakh juga
berlaku antara syari`at dengan syari`at sebelumnya, sedangkan takhshish tidak
demikian.
b.
Bahwa kelompok Mu`tazilah menambahkan
bahwa takhshish lebih umum dari Nasakh, sehingga
dapat dikatakan bahwa setiap Nasakh adalah takhshish, tetapi
tidak setiap takhshish itu adalah Nasakh. [5]
Demikian persamaan dan perbedaan antara nasakh dan takhsis
yang bisa Pustaka Madrasah bagikan, sebagaimana mengutip dari website ma’had Aly Sukorejo dengan
merubah sedikit redaksi karena faktor ejaan, tanpa mengurangi makna. Semoga
bermanfaat untuk pembaca Pustama semua. Jika ada hal yang perlu ditambah
ataupun koreksian, silahkan dituliskan pada kolom komentar.
[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Terjemahannya, al-Syifa, Semarang, 2002 h. 911.
[2] Departemen Agama RI, Loc. Cit., h.
911.
[3] Prof. Dr. H. Abdul Djalal, Op.Cit.,
h :126-127.
[4] Al-Zarqany, Op.Cit., h: 202.
[5] DR. Musthafa Said al-Khin, Atsar
al-Ikhtilaf fi al-Qawa`id al-Ushuliyah, Muassasah al-Risalah, Bairut,
Libanon, 1996. cet VI, h: 218-219.
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload