Alhamdulillah, MK Tolak Uji Materi Soal Perkawinan Beda Agama dan Usia Perkawinan
6/19/2015
Mahkamah
Konstitusi akhirnya menolak permohonan uji materi atas Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, baik uji materi atas Pasal 2 ayat (1) tentang sahnya
perkawinan maupun Pasal 7 ayat (1) dan (2) tentang usia perkawinan.
"Alhamdulillah,
uji materiil atas UU Perkawinan baik terhadap Pasal 2 ayat (1) tentang sahnya
perkawinan maupun Pasal 7 ayat (1) dan (2) tentang usia perkawinan dinyatakan
ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi pada sidang tanggal 18 Juni siang
hari ini," kata Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI
Pusat, HM Luthfie Hakim, SH., MH kepada Suara Islam Online, Kamis sore (18/06).
Disebutkan,
hakim konstitusi memutuskan pasal-pasal yang diuji materi sama sekal tidak
melanggar konstitusi.
"Mahkamah
berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum dan menolak
seluruh permohonan yang diajukan pemohon," kata Hakim Konstitusi Arief
Hidayat dalam sidang putusan di Gedung MK, Kamis (18/6/2015).
Dalam
pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa agama menjadi landasan bagi komunitas,
individu, dan mewadahi hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara negara,
menurut hakim, berperan menjamin kepastian hukum serta melindungi pembentukan
keluarga yang sah.
Menurut hakim,
bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan
menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukanlah
suatu pelanggaran konstitusi.
Hakim
berpendapat bahwa perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga
aspek spiritual dan sosial.
UU perkawinan
ini digugat oleh seorang mahasiswa dan beberapa alumnus Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida
Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra. Perkara ini teregistrasi
dengan Nomor 68/PUU-XII/2014.
Mereka menguji
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu." Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi
dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama.
Menurut pemohon,
pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan
berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama.
Sementara
pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah perempuan ini diajukan
oleh Indri Oktaviani, F.R. Yohana Tatntiana W., Dini Anitasari, Sabaniah,
Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).
Mereka
mengajukan uji materi Pasal 7 Ayat (1) yang berbunyi "Perkawinan hanya
diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."
Pasal 7 Ayat (2)
berbunyi, "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang
tua pihak pria atau pihak wanita."
Pemohon
berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan
anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama
hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C
Ayat (1) UUD 1945. (sumber: Suara Islam Online)
Jika kesulitan untuk mendownload, silahkan baca petunjuk disini: Cara Mendownload